INTENS PLUS – JAKARTA. Israel terus melancarkan genosidanya secara brutalnya ke Palestina. Negera Zionis itu bahkan menyasarkan serangan ke kamp pengungsian. Kementerian Kesehatan yang dikelola Hamas mengatakan, korban tewas di Gaza per Selasa (7/11/2023) telah mencapai 10.328 orang, termasuk 4.200 anak-anak.
Mengapa Israel begitu kejam terhadap Palestina?
Mengutip dari Aljazeera, kebrutalan Israel tidak terlepas dari sejarah berdirinya negara Zionis itu.
Deklarasi Balfour 1917
Menteri Luar Negeri Inggris pada tanggal 2 November 1917 menuliskan sebuah surat yang ditujukan kepada Lionel Walter Rothschild yang merupakan tokoh komunitas Yahudi Inggris. Surat itu hanya berisi 67 kata, namun berdampak sistemik yang dahsyat bagi Palestina hingga saat ini.
Surat itu berisi komitmen pemerintah Inggris yang ingin mendirikan sebuah “rumah nasional” bagi para kaum Yahudi yang ada di Palestina. Surat inilah yang disebut sebagai Deklarasi Balfour.
Pada saat masa kekuasaan Utsmaniyah, Inggris akhirnya mengambil alih wilayah Palestina. Pengambilan wilayah ini diperkuat oleh mandat dari Liga Bangsa-Bangsa (LBB). Sejak saat itulah, ratusan ribu kaum Yahudi berpindah ke wilayah tersebut.
Pemimpin Yahudi sangat menyambut baik hasil keputusan PBB yang menyatakan bahwa wilayah Palestina akan dibagi menjadi dua, yaitu warga Arab Palestina dan Yahudi. Keputusan ini jelas bertentangan dengan warga Arab Yahudi, sehingga munculah konflik yang hingga saat ini terjadi.
Pemberontakan Arab Tahun 1930-an
Akibat dari konflik yang semakin menegang, pada April tahun 1936, Komite Nasional Arab meminta warga Palestina untuk melakukan pemogokan umum. Pemogokan ini berlangsung selama enam bulan, dan warga Arab ditindas secara brutal oleh Inggris.
Inggris meluncurkan sebuah kampanye yang berisi penangkapan massal dan penghancuran rumah warga. Fase kedua dari pemberontakan, dipimpin oleh perlawanan petani Palestina pada tahun 1931.
Pemberontakan ini terus berlanjut hingga tahun 1939. Inggris pada akhirnya mengerahkan sebanyak 30.000 pasukan tentara di Palestina. Desa-desa yang ada di Palestina dibom melalui udara, diberlakukannya jam malam, banyak rumah dihancurkan, dan pembunuhan terjadi dimana-mana tanpa adanya proses pengadilan.
Pembagian Wilayah oleh PBB 1947
Pada tahun 1947, populasi dari warga Yahudi sudah mencapai sekitar 33% dari seluruh wilayah yang ada di Palestina. Tetapi, warga Yahudi ini hanya memiliki sekitar 6% dari tanah tersebut. Pembagian wilayah yang dilakukan oleh PBB pada tahun 1947 menjadi pemicu konflik antara Israel dan Palestina.
PBB membagi wilayah Palestina untuk menjadi dua negara. Satu negara Yahudi dan satunya lagi negara Arab. Palestina tentu saja menolak keputusan tersebut, karena tidak ingin memberikan 55% wilayah Palestina kepada Yahudi.
Pembersihan Etnis Palestina 1948
Para militer Zionis memulai operasi militer mereka dalam menghancurkan kota dan desa yang ada di Palestina demi memperluas perbatasan dari negara Zionis. Gerakan Zionis merebut hingga 78% wilayah Palestina, dan sebanyak 15.000 warga Palestina terbunuh melalui gerakan ini. Diperkirakan, sekitar 750.000 warga Palestina dipaksa untuk keluar dari rumah mereka. Peristiwa ini disebut oleh warga Palestina sebagai “nakba” atau malapetaka dalam bahasa Arab.

Nakba dan Naksa
Israel merayakan Nakba Palestina, 1 Mei, sebagai kemenangan kemerdekaannya. Israel mempersiapkan perayaan besar-besaran untuk peringatan 50 tahun pendudukannya di Yerusalem Timur, Tepi Barat, dan Gaza.
Dua tanggal yang sering digunakan untuk menggambarkan konflik Palestina-Israel: Hari Nakba pada tanggal 15 Mei dan Hari Naksa pada tanggal 5 Juni.
Nakba berarti “bencana”, istilah yang umum digunakan untuk menggambarkan kekerasan yang dialami oleh Palestina selama masa kolonialisme Inggris di Palestina, yang berlangsung dari tahun 1917 hingga 1948.
Istilah Nakba, kemudian berubah untuk mendefinisikan puncak penjajahan dan pemukiman Inggris dan Zionis di Palestina. Hingga pada akhirnya mengarah pada pembersihan etnis Palestina dari tanah air bersejarah mereka pada tahun 1947 dan 1948.
Tanggal 15 Mei 1948 adalah peristiwa terakhir dari semua “bencana” sebelumnya.
Naksa, sebaliknya, berarti “kekecewaan”. Pada periode itu, ada harapan besar di kalangan masyarakat Arab bahwa tentara Arab akan berhasil mengalahkan Israel. Sehingga dapat merebut kembali Palestina yang bersejarah, dan membuka jalan bagi para pengungsi Palestina – yang dirampas haknya selama Nakba – untuk kembali ke rumah mereka.
Pada saat itu, jumlah pengungsi telah bertambah pesat, dan kamp-kamp pengungsi penuh dengan kesengsaraan dan kemiskinan.
Selama Nakba , hampir 500 desa dihancurkan, seluruh kota di Palestina berkurang populasinya dan sekitar 800.000 warga Palestina diasingkan untuk memberi ruang bagi imigran Yahudi yang datang dari seluruh penjuru dunia.
Namun perang tahun 1967 merupakan sebuah kekecewaan besar.
Kekalahan itu menyelesaikan masalah militer Israel secara meyakinkan, memperkuat hubungan AS-Israel yang belum pernah terjadi sebelumnya; dan, yang sama pentingnya, menyebabkan perubahan mendasar dalam bahasa.
Untuk waktu yang lama setelah perang, Nakba sebagian besar dicatat dalam buku sejarah dan perbatasan baru Israel – yang mencakup wilayah Arab yang luas, termasuk seluruh wilayah bersejarah Palestina – menjadi kerangka acuan baru.
Kekalahan tahun 1967 mengakhiri dilema sebelumnya di mana perjuangan bersenjata Palestina seringkali didikte oleh negara-negara Arab, terutama Mesir, Yordania, dan Suriah.
Pendudukan terhadap 22 persen sisa Tepi Barat mengalihkan fokus ke Yerusalem Timur, Tepi Barat dan Gaza, dan memungkinkan faksi Palestina, Fatah, untuk mendefinisikan kembali perannya dalam menghadapi kekalahan Arab dan perpecahan yang terjadi setelahnya.
PM Israel Tanamkan Ideologi Tidak Ada Bangsa Palestina
Pernyataan terkenal yang pernah dibuat oleh mantan Perdana Menteri Israel Golda Meir bahwa orang-orang Palestina ‘tidak ada’ dan bahwa ‘tidak ada yang namanya bangsa Palestina’ jauh lebih berbahaya daripada sekadar komentar rasis.
Pada konferensi Khartoum bulan Agustus 1967, para pemimpin Arab berselisih mengenai prioritas dan definisi status quo ante dari Israel. Kemudian apakah masyarakat Arab fokus untuk kembali ke situasi sebelum tahun 1967 atau sebelum tahun 1948?
Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengadopsi Resolusi 242 pada tanggal 22 November 1967, yang mencerminkan keinginan pemerintahan Lyndon B Johnson AS untuk memanfaatkan status quo ante yang baru. Resolusi PBB menuntut penarikan Israel “dari wilayah pendudukan” sebagai imbalan atas normalisasi hubungan dengan Israel.
Israel kemudian tampil sebagai negara korban untuk mempertahankan diri. Meskipun Israel telah menaklukkan seluruh Palestina dan menundukkan jutaan penduduknya, Israel tetap menyatakan bahwa Palestina tidak ada.
Semakin banyak tanah yang direbut Israel secara ilegal dengan cara militer. Semakin banyak pula warga Palestina yang secara etnis ‘dibersihkan’ dari tanah air leluhur mereka. Semakin besar juga keinginan pemimpin Israel untuk menghapus warga Palestina dari catatan sejarah sebagai bangsa yang memiliki identitas, budaya, dan hak atas tanah mereka. Palestina sebagai sebuah bangsa.
Dalam pemiliran Israel, jika Palestina “ada” maka tidak akan pernah ada pembenaran moral atas pembentukan Israel. Tidak ada pula alasan yang cukup kuat untuk bersukacita atas lahirnya “keajaiban” Israel yang “membuat gurun berkembang”.
Kelahiran Israel yang penuh kekerasan memerlukan kehancuran seluruh bangsa – bangsa yang memiliki sejarah, bahasa, budaya, dan ingatan kolektif yang unik. Oleh karena itu, rakyat Palestina harus dimusnahkan untuk menghilangkan rasa bersalah, malu, dan tanggung jawab hukum dan moral Israel atas apa yang telah menimpa jutaan orang yang dirampas haknya.
Jika suatu masalah tidak ada, maka seseorang tidak mempunyai kewajiban untuk memperbaikinya. Dengan demikian, penyangkalan terhadap Palestina adalah satu-satunya rumusan intelektual yang memungkinkan Israel mempertahankan dan mempromosikan mitos nasionalnya.(*)
Penulis : Fatimah Purwoko