INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Beberapa waktu terakhir, teknologi Wolbachia dalam upaya pengendalian demam berdarah dengue (DBD) mendapat perhatian. Terjadinya pro-kontra terkait pemanfaatan teknologi yang belum genap setahun rampung diteliti dan diimplementasikan oleh World Mosquito Program (WMP) Yogyakarta.
Untuk diketahui, WMP Yogyakarta merupakan sebuah projek yang bernaung di bawah Pusat Kedokteran Tropis (PKT) Universitas Gadjah Mada (UGM). Yang pengembangannya pun dibiayai oleh Yayasan Tahija.
Para peneliti yang pernah terlibat dalam riset nyamuk ber-Wolbachia dipertemukan di Gedung Pusat Universitas Gadjah Mada. Rabu(22/11).
Mereka menjawab pertanyaan-pertanyaan maupun komentar yang paling sering ditemukan di media sosial, menghadirkan dr. Riris Andono Ahmad, MPH PhD yang merupaka salah satu peneliti dari riset nyamuk ber-Wolbachia di PKT UGM. Dr Donnie, sapaan akrabnya, menanggapi komentar terkait masih ditemukannya kasus DBD di wilayah pelepasan nyamuk ber-Wolbachia di Yogyakarta.
“Teknologi Wolbachia tidak menyebabkan DBD akan hilang sama sekali. Terutama di wilayah dengan mobilitas yang tinggi. Bisa jadi penderita DBD tersebut tertular DBD dari wilayah lain yang tidak dilepasi nyamuk ber-Wolbachia,” jelasnya.
Wolbachia akan mengurangi potensi penularan lokal DBD di wilayah yang telah dilepasi nyamuk ber-Wolbachia. Hasil 11 tahun penelitian nyamuk ber-Wolbachia menunjukkan bahwa metode ini terbukti efektif mengurangi 77% kasus dengue dan menurunkan 86% insidensi perawatan di rumah sakit karena dengue.
Pertanyaan selanjutnya yang direspon, adalah kekhawatiran Indonesia akan berakhir seperti Srilanka yang kasus DBDnya melonjak hingga 300% tiga tahun setelah menerapkan teknologi Wolbachia. Ini menjadi alasan yang sama mengapa Singapura sebatas menguji di laboratorium namun tidak dilepas.
Dr. Donnie menanggapi kekhawatiran netizen ini dengan mengutip informasi dari website https://www.worldmosquitoprogram.org/ bahwa di Srilanka, Wolbachia baru dilepas di wilayah dengan luas 20 km persegi.
“Luasan tersebut tentu tidak sebanding dengan kejadian DBD di seluruh Srilanka,” ujarnya.
Terkait pelepasan Wolbachia di Singapura, dr. Donnie menjawab bahwa Singapura menggunakan strategi pelepasan yang berbeda dengan Yogyakarta, yaitu dengan melepas nyamuk jantan ber-Wolbachia.
Strategi ini bertujuan untuk menurunkan populasi nyamuk karena jika jantan ber-Wolbachia kawin dengan betina tanpa Wolbachia, telur-telur yang dihasilkan tidak akan menetas. Strategi ini tidak memanfaatkan kemampuan Wolbachia dalam memblok virus dengue karena hanya nyamuk betina lah yang menularkan virus dengue, penyebab DBD.
Selain itu, Warsito Tantowijoyo Ph.D. yang merupakan entomolog (ahli serangga), dia juga sejak awal mengawal penelitian nyamuk ber-Wolbachia. Warsito pun menyampaikan perihal keamanan Wolbachia, yaitu bakteri ini merupakan bakteri alami yang terdapat di sebagian besar serangga di sekitar kita.
“Sebetulnya manusia telah lama sekali berinteraksi dengan bakteri ini karena ia dapat ditemukan di serangga-serangga yang mudah ditemukan seperti semut, capung, kupu-kupu, dan sebagainya,” ucapnya.
Warsito kemudian menjelaskan jenis Wolbachia pun sangat banyak. Sedangkan jenis yang digunakan oleh WMP Yogyakarta adalah Wmel (Wolbachia melanogaster), yaitu jenis Wolbachia yang diambil dari lalat buah.
“Ini kan serangga yang sangat mudah ditemukan,” sebut Warsito.
Warsito menekankan bahwa teknologi Wolbachia ini benar-benar aman karena menggunakan bakteri yang dekat dengan manusia. Begitu dekatnya, tidak menutup kemungkinan bakteri tersebut tidak sengaja masuk ke tubuh manusia melalui buah yang dikonsumsi. Namun itu pun tidak masalah karena Wolbachia hanya bisa hidup di sel serangga.
Untuk melengkapi, Warsito menjelaskan bahwa dirinya dan peneliti lainnya merupakan relawan yang ikut memberi makan nyamuk dengan cara membiarkan tangan atau kakinya digigit oleh nyamuk ber-Wolbachia. Namun, terbukti bahwa tidak ditemukan bakteri Wolbachia di dalam tubuh para relawan, termasuk dirinya.
Tak hanya itu, riset nyamuk ber-Wolbachia ini pernah melakukan studi dengan mengambil sampel darah warga yang tinggal di wilayah pelepasan untuk memeriksa apakah ada bakteri Wolbachia di dalam tubuh mereka. Kembali lagi, terbukti bahwa tidak ditemukan bakteri Wolbachia di dalam tubuh mereka.
Hal lain yang ditanggapi oleh Warsito adalah isu mengenai nyamuk ber-Wolbachia merupakan hasil rekayasa genetika. Dengan tegas Warsito mengatakan bahwa nyamuk ber-Wolbachia yang digunakan yang digunakan pada riset nyamuk ber-Wolbachia bukan merupakan hasil rekayasa genetika.
“Tidak ada manipulasi genetika, hanya memasukkan bakteri Wolbachia ke nyamuk Aedes Aegypti,” ucapnya.
Kepastian tidak adanya rekayasa genetika ini pun sudah terbukti. Warsito bahkan memiliki dokumen-dokumennya secara lengkap karena manajemen data dan dokumentasi menjadi salah satu hal yang mendapat perhatian khusus dalam penelitian WMP Yogyakarta.
“Kami berharap edukasi ini, dapat meluruskan isu-isu negatif yang berkembang di masyarakat,”tutupnya(*)
Penulis: Fatimah Purwoko