Headline Internasional

Israel Tolak Dugaan Genosida, Netanyahu: Kurang Ajar dan Lancang Sekali

INTENS PLUS – JAKARTA. Israel tolak gugatan yang dilayangkan Afrika Selatan ke Mahkamah Internasional atau International Court of Justice (ICJ) atas dugaan bahwa negara Zionis itu melakukan genosida terhadap Palestina.

Penolakan dari Israel dapat dukungan dari Amerika Serikat yang mengatakan tuduhan Afrika Selatan tidak berdasar.

Penolakan Israel disampaikan pada sidang kedua Mahkamah Internasional pada Jumat (12/1/2024). Sebelum sidang berlangsung, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu bahkan menyatakan bahwa dunia sudah terbolak-balik setelah negaranya digugat Afrika Selatan.

“Organisasi teroris melakukan kejahatan terparah terhadap orang-orang Yahudi sejak Holocaust, dan sekarang ada yang membelanya atas nama Holocaust? Kurang ajar dan lancang sekali!” ujarnya seperti dilansir AFP.

Netanyahu mendapat dukungan dari juru bicara Amerika Serikat Matthew Miller yang menyebut gugatan Afrika Selatan tidak berdasar.

“Faktanya, pihak yang menyerang Israel adalah pihak yang senantiasa menyerukan penghancuran Israel dan pembantaian massal orang-orang Yahudi,” ujar Miller.

Dalam sidang kedua di Mahkamah Internasional, delegasi Israel menolak tuduhan-tuduhan genosida yang menurut mereka tidak berdasar.

Delegasi Israel menuding Afrika Selatan bertindak sebagai juru bicara kelompok Hamas yang menginginkan kehancuran Israel dan dianggap teroris oleh Barat.

Ahli hukum Kementerian Luar Negeri Israel, pada pembukaan dengar pendapat hari kedua di Mahkamah Internasional berdalih bahwa aksi-aksi militer Israel di Gaza adalah pembelaan diri terhadap Hamas dan organisasi-organisasi teroris lainnya.

Penasihat hukum Israel, Tal Becker, menyebut interpretasi Afrika Selatan atas apa yang terjadi sangat terdistorsi dan kalau memang ada aksi genosida, mereka dilakukan terhadap Israel.

Becker menambahkan bahwa meminta pengadilan memerintahkan penghentian operasi militer Gaza sama saja dengan menyerang hak Israel untuk membela diri dan membuat Israel tidak berdaya.

Seperti diketahui, Israel melancarkan serangan habis-habisan di Gaza setelah militan Hamas menyerang wilayah selatan Israel pada 7 Oktober 2023 yang diberitakan menewaskan 1.200 orang yang sebagian besar orang sipil dan 240 lainnya dijadikan sandera.

Sejak pasukan Israel melaksanakan aksi bersenjata, hampir dari total populasi di Gaza yakni 2,3 juta orang terpaksa melarikan diri dari tempat tinggal mereka setidaknya satu kali.

Di bawah hukum internasional, genosida didefinisikan sebagai satu tindakan atau lebih dengan tujuan menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, sebuah bangsa, etnis, ras, atau kelompok agama.

Berbeda dengan Mahkamah Pidana Internasional (ICC), ICJ tidak bisa menuntut individu-individu kriminal seperti pelaku genosida. Meski begitu, opini-opini ICJ memiliki signifikansi di PBB dan lembaga-lembaga internasional lainnya.

Pada Rabu (10/1/2024), Presiden Afrika Selatan Cyril Ramaphosa menyatakan, “Penolakan kami terhadap pembantaian yang berlangsung terhadap orang-orang di Gaza menggerakkan kami untuk melakukan pendekatan ke ICJ.”

Presiden Israel Isaac Herzog mendeskripsikan tuduhan terhadap negaranya sebagai kejam dan konyol.

“Kami akan hadir di Mahkamah Internasional dan dengan bangga mempresentasikan pembelaan diri kami di bawah hukum humaniter,” ujar Isaac.

Dia menambahkan pasukan Israel telah melakukan yang terbaik di bawah situasi-situasi ekstrem di lapangan untuk memastikan tidak ada konsekuensi tak terduga dan kematian orang sipil.

Caroline Glick, mantan penasihat Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, mengatakan gugatan Afrika Selatan adalah pembangkangan terhadap prinsip-prinsip dasar moral dan kewajaran.

Zane Dangor, direktur jenderal departemen hubungan dan kerjasama internasional Afrika Selatan, mengatakan dalam wawancara dengan program Africa Daily BBC bahwa gugatan genosida Israel adalah tuduhan yang serius tetapi bukanlah tuduhan tanpa dasar. Dia menggambarkan kasus Afrika Selatan sebagai “sangat teliti dan cermat”.

Dangor juga mengutuk serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, tetapi menurutnya tidak ada yang bisa menjustifikasi level pembunuhan yang terjadi di Gaza saat ini.

ICJ dapat dengan cepat memutus permintaan Afrika Selatan agar Israel menangguhkan kampanye militernya – tetapi putusan final tentang apakah Israel melakukan genosida bisa jadi baru tercapai bertahun-tahun kemudian.

Alasan kemanusiaan sepertinya merupakan alasan paling tepat dalam memandang gugatan hukum ini. Melansir situs Kantor PBB untuk Koordinasi Urusan Kemanusiaan (OCHA), setidaknya 23.357 warga Palestina meregang nyawa akibat serangan Israel per 10 Januari 2023 atau 95 hari sejak meletusnya konflik. Ini berarti sekitar 1 dari 100 warga Palestina tewas sejak 7 Oktober 2023. Di sisi lain, jumlah korban di sisi Israel mencapai 1.200 atau 1 per 10.000 penduduk.

Mirisnya, sekitar 70 persen atau 16.350 korban jiwa rakyat Palestina adalah perempuan dan anak-anak. Serangan udara dan darat yang dilancarkan oleh militer Israel juga telah menghancurkan 6 dari 10 bangunan pemukiman di Gaza. Tak pelak, sedikitnya 85 persen atau 1,9 juta warga Palestina di Gaza harus bersesakan di kamp-kamp pengungsian. Sementara itu, sulitnya akses keluar masuk logistik menyebabkan ancaman kelaparan bagi sedikitnya 2,2 juta warga Palestina di sana.

Deretan korban jiwa, luka, serta seluruh ancaman kehancuran yang membayangi 2,3 juta warga Palestina di Gaza ini menjadi alasan kuat bagi banyak pihak menggugat Israel untuk segera menghentikan agresi militernya. Tuduhan genosida yang dilayangkan Afrika Selatan bisa dikatakan sebagai puncak dari keresahan dunia menyaksikan bencana kemanusiaan yang tak kunjung usai. Bahkan, bukan hanya sekali ini Israel mendapatkan tuduhan kejahatan paling serius yang bisa dilakukan oleh umat manusia tersebut.

Pada 15 Oktober 2023 atau sepekan setelah konflik meletus, Jurnal Third World Approaches to International Law Review (TWAILR) merilis pernyataan publik yang memperingati risiko potensi terjadinya genosida di Gaza. Sedikitnya 800 akademisi dan praktisi hukum internasional menandatangani pernyataan publik tersebut.

Mereka mengamati, serangan militer Israel di Jalur Gaza memiliki skala yang belum pernah terjadi sebelumnya. Berdasarkan analisis yang mereka lakukan, para cendekiawan dan ahli tersebut melihat bahwa Israel memiliki intensi spesifik (dolus spesialis) untuk memusnahkan warga Palestina. Salah satu indikatornya adalah bahasa retorika yang dipakai oleh politisi dan pejabat militer Israel dinilai kerap tidak menganggap warga Palestina sebagai sesama manusia dan harus dihancurkan.

Pernyataan publik itu lantas semakin dikuatkan oleh PBB pada 16 November 2023. Di dalam pernyataan resminya, seorang staf ahli PBB menyatakan kekerasan yang dilakukan Israel terhadap Palestina di Gaza telah mengarah pada terciptanya sebuah genosida. Sebelumnya, pada 14 Oktober 2023, Pelapor Khusus PBB, Francesca Albanese, telah menyatakan Israel tengah melakukan pembersihan etnis Palestina di bawah kelambu peperangan.

Gugatan hukum terhadap kejahatan genosida yang dilakukan pemimpin Israel juga telah dilayangkan oleh tiga organisasi hak asasi manusia Palestina kepada Mahkamah Pidana Internasional (ICC) pada 9 November 2023. Ketiga organisasi tersebut adalah Al Haq, Al Mezan Center for Human Rights, dan Palestinian Centre for Human Rights.

Adapun kuasa hukum mereka adalah Emmanuel Daoud, pengacara di Paris Bar dan ICC, yang sebelumnya memenangkan tuntutan untuk penerbitan perintah penangkapan Presiden Rusia Vladimir Putin atas tuduhan kejahatan perang di Ukraina.

Ketiga organisasi tersebut, bersama dengan organisasi Aldameer, juga pernah mengajukan tuntutan hukum ke ICC pada 2014. Mengutip laporan dari Centre for Constitutional Rights, mereka menuntut investigasi dan pengadilan atas kejahatan perang dan genosida yang dilakukan Israel pada Operasi Militer Protective Edge di Gaza.

Gerakan itu menuntut Israel atas kejahatan genosida pada saat itu juga dilakukan oleh Russel Tribunal, yakni mahkamah pengadilan yang didirikan oleh Bertrand Russel, filsuf dan pemenang Hadiah Nobel dari Inggris dan sejumlah tokoh terkemuka lainnya. Selain mereka, Presiden Bolivia 2006-2019 Evo Morales tercatat menyatakan bahwa apa yang terjadi di Palestina kala itu adalah genosida dan perlu diinvestigasi.

Rekam jejak tuduhan internasional terhadap tindakan genosida yang dilakukan oleh Israel rupanya dapat dilacak hingga tahun 1982. Di tahun tersebut, Israel tengah menginvasi Lebanon untuk menghabisi Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) yang bermarkas di negara tersebut.

Sebuah tragedi lantas terjadi di kamp pengungsian Sabra dan Shatila pada 16-18 September 1982. Melansir dari BBC dan The Independent, sekitar 800-1.700 orang Palestina dan Lebanon dibunuh oleh kelompok milisi Phalangists yang merupakan sekutu Israel dalam kurun waktu tiga hari itu.

Majelis Umum PBB kemudian menyatakan pembantaian tersebut sebagai sebuah tindakan genosida. Sejumlah pihak melihat Israel memiliki kaitan terhadap pembantaian itu. Sebuah investigasi internasional yang digagas ahli hukum dari Amerika Serikat, Kanada, Prancis, Afrika Selatan, dan Irlandia lantas dilakukan untuk menelisik pelanggaran hukum internasional dari Israel selama invasi ke Lebanon.

Salah satu kesimpulan yang mereka hasilkan adalah pejabat Israel memiliki tanggung jawab hukum yang besar, sebagai penginvasi atas Pembantaian Sabra dan Chatila. Selain itu, mereka juga merekomendasikan pembentukan badan internasional terkait dugaan genosida yang dilakukan Israel terkait kebijakan-kebijakan dan penerapannya terhadap orang Palestina.

Tuntutan, investigasi, hingga pernyataan banyak pihak atas kejahatan genosida Israel sejak puluhan tahun lalu menunjukkan satu hal, negara Zionis tersebut memiliki catatan panjang terkait pelanggaran hak asasi manusia yang serius.

Upaya menyeret Israel untuk mempertanggungjawabkan seluruh aksi militernya dengan melanggar hak-hak dasar kehidupan masyarakat Palestina perlu mendapat perhatian serius bagi institusi hukum internasional guna menghentikan penindasan.

Gugatan Afrika Selatan terhadap upaya genosida yang dilakukan Israel terhadap Palestina yang diajukan ke Mahkamah Internasional patut menjadi contoh bagi bangsa lainnya di dunia untuk sama-sama mendukung dan menjunjung tinggi harkat manusia dalam kehidupan ini.

Afrika Selatan telah berani mengambil aksi nyata atas hal tersebut. Seiring dengan itu, mata dunia memandang dengan penuh asa ke Den Haag, supaya keadilan dapat tercipta bagi 2,3 juta warga Palestina di Gaza.(*)

Penulis: Fatimah Purwoko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *