INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) memiliki citra sebagai kota pendidikan yang baik. Kendati demikian, dinamika pendidikan di DIY tetap diwarnai oleh sejumlah kendala.
Masih dijumpai, mahasiswa yang menjalani pendidikan tapi tidak merasa sesuai keinginannya. Sehingga semangatnya untuk mengenyam pendidikan pun melorot, bahkan harus drop out (DO) dari kampus ternama.
Di sisi lain, ada pula yang bersemangat untuk mengejar gelar sarjana meskipun dalam tekanan ekonomi. Sehingga ia harus berjibaku dengan kerasnya tuntutan akademik sembari mengumpulkan biaya hidup dan kuliah.
Melansir dari Goodreads, angka putus kuliah di Indonesia pada 2022 terhitung rendah, yaitu sekitar 4.02%. Angka ini turun dari tahun 2021 yang mencatatkan putus kuliah mencapai 5,34%, dan pada 2020 sebanyak 7,10%.
Berdasarkan jumlahnya, pada 2020 tercatat ada sebanyak 375.134 mahasiswa dari semua jenjang pendidikan tinggi yang DO dari kampus, baik dikeluarkan maupun mengundurkan diri.
Melansir dari Mojok.co, salah satu mahasiswa yang memilih untuk DO adalah Yanto (bukan nama sebenarnya. Eks mahasiswa Prodi Pendidikan Bahasa Inggris (PBI) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ini mengaku tidak kerasan selama kuliah karena merasa tidak sesuai dengan ekspektasinya.
Dia sempat meminta izin pada orang tuanya untuk pindah tempat kuliah, tapi tak mendapat restu. Padahal, Yanto sudah menawarkan diri untuk membiayai sendiri kuliahnya.
Kini, Yanto lebih memilih untuk mengembangkan usaha toko kelontong milik keluarganya. Kegiatan barunya itu, justru dianggap Yanto sebagai bahan pembuktian. Bahwa dia tidak gagal.
“Selain jaga toko kelontong, ya aku juga freelancer, Mas. Bantu jadi tour guide dan designer sih. Tapi yang utama tokonya sih, duitnya bener-bener gede,” lontarnya dikutip, Sabtu (13/4/2024).
Yanto pun mengatakan bahwa sebenarnya dia lumayan menyesal DO dari PBI UNY. Tapi, dia tidak menyesal mengambil keputusan kuliah. Dia justru menyimpan keinginannya untuk kuliah lagi.
“Kuliah kan membentuk pola pikir, Mas. Jadi aku mau ambil kuliah lagi di Universitas Terbuka (UT), ambil manajemen, untuk kembangin bisnis warung,” sebutnya.
Cerita perjuangan dalam mengenyam bangku kuliah dirasakan oleh Ega Ayu Wulandari. Dia berhasil menyematkan gelar Sarjana Pendidikan setelah lulus dari Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia (PBSI) UNY dengan predikat cumlaude.
Dilansir dari DetikEdu, awalnya Ega tak berpikir untuk mengejar gelar sarjana. Mengingat sang ayah berprofesi sebagai buruh harian lepas yang bekerja hanya jika ada panggilan. Sementara ibunya bekerja di pabrik genting dengan upah yang tidak seberapa.
Ia hanya berpikir bahwa setelah lulus sekolah jenjang menengah atas, ingin langsung bekerja dan membantu perekonomian keluarga. Oleh karena itu, ia memilih sekolah di SMKN 2 Depok Sleman Jurusan Elektronika Audio Visual.
Di tengah-tengah studi di SMK, Ega baru mulai memiliki tekad untuk melanjutkan kuliah. Tekad ini ia tunjukkan dengan mendaftar SNMPTN atau yang sekarang disebut Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi (SNBP).
Namun, proses menuju kuliahnya ternyata menemui kegagalan. Ega tidak lolos jalur SNMPTN setelah mendaftar jurusan manajemen dan ilmu komunikasi.
“Sewaktu SNMPTN saya mencoba mengambil jurusan manajemen dan ilmu komunikasi, namun tidak lolos,” ungkapnya.
Kegagalan ini tidak menjadi akhir upaya bagi Ega. Ia segera mendaftar ke jalur berikutnya yakni SBMPTN atau yang kini dikenal dengan Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT). Ega pun lolos menjadi mahasiswa UNY dengan jalur ini.
“Saya mencoba lagi ikut UTBK SBMPTN walaupun waktu itu dibarengi dengan Ujian Kelulusan Kejuruan yang juga cukup menyita pikiran dan tenaga. Alhasil dengan modal niat dan giat belajar saya lolos di UNY,” tambahnya.
Keseriusan Ega saat berkuliah, tunjukkan dengan berbagai prestasi. Meski ia masuk kuliah saat masa pandemi COVID-19, selama kuliah di UNY, Ega aktif dalam berbagai organisasi kampus.
“Saya sangat bersyukur bisa mendapat bantuan pendidikan KIP-K selama kuliah. Karena itu saya tidak akan menyia-nyiakan waktu kuliah saya,” ujar gadis kelahiran 24 September 2000 tersebut.
Tercatat, ia mengikuti beberapa organisasi seperti unit kegiatan sastra dan teater Unstrat serta unit penelitian mahasiswa tingkat fakultas di UKM Limlarts. Di UKM Limlarts, Ega bergabung di Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (PSDM) dan juga pernah menjadi Kepala Departemen (Kadep) dan DPO di UKM tersebut.
Tak sampai di situ, saat semester 6, ia juga sempat menjadi guru les mengajar calistung untuk anak PAUD dan TK. Ia juga mengajar anak-anak SD untuk semua mata pelajaran dengan sistem door to door ke rumah muridnya.
Bahkan semasa skripsi, Ega juga sudah bekerja menjadi guru honorer di salah satu SMP swasta.
Apa yang dilakukan Ega akhirnya mendapatkan hasil yang memuaskan saat lulus. Sumaryanto dan Peni Lestari menjadi orang tua yang bangga karena putrinya, Ega Ayu Wulandari, berhasil menamatkan pendidikan sarjananya dengan IPK 3,78 dan meraih predikat cumlaude.
Demikian potret dinamika pendidikan di DIY yang memiliki citra kota pelajar. Dari Yanto, cukup dipahami masih ada tekanan dari orang tua pada kebebasan anak menentukan pendidikan yang diinginkannya. Sementara dari Ega, diketahui bahwa ada anak yang hampir mengubur mimpi karena ekonomi.(*)
Penulis : Fatimah Purwoko