Pendidikan Yogyakarta

UGM: Aras Hukum dan Politik Buat Kondisi Perempuan di Indonesia Kian Terpuruk

INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Hari Kartini jadi momentum refleksi menyorot kondisi Perempuan di Indonesia. Salah satunya, dilakukan oleh akademisi dari Fakultas Hukum (FH) Universitas Gadjah Mada (UGM), Sri Wiyanti Eddyono yang menyatakan bahwa hukum dan politik di Indonesia, justru membuat kondisi Perempuan semakin terpuruk.

“Pada perayaan hari Kartini yang ke-145 tahun ini, saya ingin menyampaikan rasa kebahagiaan sekaligus keprihatinan,” ujarnya di Balairung UGM, Minggu (21/4/2024).

Kebahagiaan karena telah terdapat kemajuan-kemajuan terhadap kehidupan perempuan di Indonesia, terutama di sektor publik. Hal itu ditandai dengan berbagai perkembangan hukum dan kebijakan negara yang telah mulai menjamin kesetaraan dan keadilan bagi perempuan khususnya dalam ranah kekerasan berbasis gender sejak era reformasi. Antara lain dengan keberadaan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Tindak Pidana Perdagangan Orang, dan UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual patut diapresiasi.

Namun menurut Sri, jika melihat pada aspek sosial, ekonomi, dan politik kehidupan perempuan maka masih ditemukan berbagai kesenjangan. Mulai dari angka partisipasi kerja perempuan yang masih di 52% dan paling banyak di sektor informal serta unpaid care (kerja-kerja tidak berbayar atau berbayar rendah).

“Yang jelas meletakkan perempuan pekerja pada wilayah-wilayah rentan, tersembunyi dan seolah-olah tidak berkontribusi pada ekonomi makro,” lontarnya.

Hal itu juga tampak pada para pekerja migran yang ireguler dan unskilled yang masih mewarnai wajah migrasi Indonesia. Selain itu, posisi indeks ketimpangan gender yang hanya menurun sangat sedikit dari tahun 2019 ke tahun 2022, dari angka 0,488 menjadi 0,452. Bahkan, Gender Empowerment Index Indonesia merilis, Indonesia berada pad level No 2 terendah di ASEAN.

Sri juga mencecar dari aspek partisipasi perempuan di wilayah politik yang masih belum mencapai 30% dalam quota internasional. Bahkan hasil perkiraan Koalisi Perempuan Indonesia untuk Demokrasi dan Perludem, walaupun ada kecendrungan jumlah perempuan di DPR meningkat. Namun dari komposisi persentasi akan menurut dari periode sebelumnya.

Pertanyaannya apa yang berkontribusi pada kondisi kehidupan perempuan Indonesia secara makro yang masih memprihatinkankan?

“Saya menegaskan mengapa melihat kondisi perempuan Indonesia secara makro, karena memang kalau dilihat hari ini, saya dan rekan-rekan yang berada pada posisi elit perempuan karena kita adalah perempuan yang berpendidikan tinggi dan dalam posisi yang memiliki privilege. Namun kondisi ini tidak bisa digeneraliasi mengingat secara makro kehidupan perempuan di Indonesia masih sangat problematik,” sebutnya.

Pertama, karena Sri memiliki keahlian di bidang hukum dan gender, maka dia mengevaluasi dari perpektif hukum. Baik dari penegakan hukum sampai dengan paradigma hukum yang cenderung maskulin dan meminggirkan kelompok yang rentan dan lemah.

Dari aspek penegakan hukum, kondisi penegakan hukum di Indonesia tidak baik-baik saja dan kondisi buruk ini telah berjalan puluhan tahun. Era reformasi pun tidak bisa meretas problematikan penegakan hukum yang cenderung meminggirkan pihak yang lemah dan memperkuat posisi pihak yang memiliki posisi, cenderung tebang pilih, dan menjadi cara untuk mengambil keuntungan bagi mereka mereka yang berkuasa bahkan di level yang paling bawah.

Praktik sehari-hari hukum yang korup seakan dianggap normal. Hal ini terlihat dari hanya sekitar 5-7% kasus kekerasan berbasis gender yang dapat diproses secara hukum dari hanya sekitar 20% yang dilaporkan. Selain itu, masih ditemukan kriminalisasi para korban perdagangan orang yang menjadi pekerja migran ireguler dianggap sebagai pelaku kejahatan imigrasi ketimbang sebagai korban yang seharusnya mendapatkan perlindungan.

“Negara seakan tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari para perempuan pencari keadilan. Kasus-kasus yang dapat diproses secara adil hanyalah kasus-kasus yang didorongkan untuk menjadi perhatian publik,” ujarnya.

Kedua, tidak saja dalam level praktik hukum yang problematik, namun paradigma hukum yang sangat erat dengan politik mewarnai bagaimana hukum dibentuk, institusi hukum bekerja dan para keadilan yang terabaikan.

Dalam wacana hukum dan politik yang berkeadilan; hukum diidealkan sebagai sebuah kesepakatan masyarakat yang berbasis pada idealitas dan moral kebajikan, untuk menjaga aras politik dan pembangunan. Apa daya, dalam praktiknya paradigma hukum yang berkeadilan tertebas dengan politik yang buas, maskulin, dan tanpa dasar nilai-nilai kemaslahatan. Proses pembentukan hukum diwarnai pembentukan politik praktis dan produk hukum menjadi legitimasi kekuasaan yang untuk kepentingan elit semata.

“Apa yang terjadi dalam perdebatan pemilu 2024 contoh yang sangat transparan terhadap bagaimana hukum digunakan secara sistematis dan menggunakan insitusi demokarasi (DPR) dalam pengesahan bansos yang digulirkan secara massif selama pemilu, contoh legitimasi hukum oleh kekuasaan karena dana bansos tersebut seolah-olah sah dan legitimated,” paparnya.

Ketiga, paradigma hukum bekerja berdasarkan struktur hukum yaitu institusi peradilan dan aparat hukum dan pemerintahan atau mereka-mereka yang menjalankan hukum itu. Mengutip Prof Sajipto Raharjo, kata Sri, ada 5 hal yang sangat berpengaruh pada bagaimana struktur hukum bekerja. Antara lain nilai-nilai, kapasitas, kepentingan, budaya institusi dan kebijakan turunan.

Lima aspek ini sangat problematik dalam konteks Indonesia masa kini, instusi Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi sebagai dua pilar keadilan paling akhir cenderung tidak immune dengan kekuasaaan dan kepentingan politik. Karenanya digunakan untuk legitimasi kepentingan kekuasaan.

“Contoh yang paling jelas sudah di depan mata kita dalam penentuan usia calon wakil presiden,” serunya.

Keempat, praktik-praktik kekuasaan yang telah vulgar berkait dan berkelindung dengan hukum ini apakah masih akan terus dinormalisasi. Sudah pasti implikasi yang sangat besar adalah pada penyelenggaraan kekuasaan kenegaraan yang tidak akan bertumpu pada kemaslahatan dan kesentosaan rakyat banyak apalagi kelompok rentan diskriminasi terhadap perempuan dan kelompok rentan lainnya.

Normalisasi kecarutmarutan patut kita respon, baik sebagai insan pribadi, rakyat atau warga negara maupun selaku akademisi. Sri berharap masih ada nalar bagi para hakim di Mahkamah Konstitusi yang secara komperhensif menganalisis dengan meletakkan keputusannya pada konteks keadilan substantif ketimbang keadilan formal.

“Kita bicara pada nasib bangsa Indonesia yang harapannya berubah lebih baik dalam mencapai paska 25 era reformasi Indonesia,” ujarnya.

Kelima, apapun keputusan dari Mahkamah Konstitusi sudah pasti harus dipakai untuk momentum merefleksikan peran dan posisi para cendikiawan dan akademisi.

Pencerdasan anak bangsa yang tidak lupa akan sejarah perjuangan kemerdekaan, perjuangan untuk demokrasi dan keadilan dan perjuangan untuk mencapai kesentosaan seluruh rakyat Indonesia selalu harus dipertimbangkan dalam penyiapan generasi muda di masa mendatang.

“Kita tidak ingin generasi kita lupa sejarah, rendah kepekaaan dan miskin kesolidaritasan sosial,” tandasnya.(*)

Penulis : Fatimah Purwoko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *