INTENS PLUS – JAKARTA. Starlink baru saja resmi beroperasi di Indonesia. Antusias masyarakat menyambut layanan internet berbasis satelit milik Elon Musk itu pun tinggi.
Tak ayal, banyak masyarakat yang FOMO (Fear Of Missing Out) atau ketakutan kehilangan momen untuk mencoba membeli perangkat dan berlangganan. Namun, setelah dicoba, kecepatan internet Starlink ternyata di bawah ekspektasi. Selain itu, berhembus kabar terkait sistem keamanan Indonesia yang belum siap dengan teknologi Starlink. Sehingga berpotensi pada kebocoran data.
Sejumlah warganet banyak yang mengeluh dan menilai layanan internet milik Elon Musk ini sulit mendapatkan sinyal dan kecepatannya di bawah ekspektasi. Misalnya saja dari sekolah Syifaul Qulub (SQ) di Gresik, Jawa Timur yang diklaim pertama kali menggunakan layanan Starlink.
Sekolah ini mengunggah video yang menunjukkan kecepatan internet dari Starlink. Dalam video tersebut diperlihatkan kecepatan Starlink hanya di sekitaran 30-40an Mbps. Padahal, Starlink sendiri menjanjikan kecepatan layanan internetnya bisa mencapai 200 Mbps.
Pemilik akun @ryan*** bercerita di platform X bahwa kecepatan internet Starlink di kediamannya di Jakarta Selatan–kecepatan download sekitar 60 Mbps hingga 80 Mbps dan kecepatan upload sekitar 35 Mbps–dalam 30 menit pertama penggunaan.
Melihat performa Starlink yang tak memuaskan, Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja, ikut angkat bicara.
Menurutnya, masyarakat Indonesia harusnya jangan latah membeli Starlink karena FOMO. Sebab, Starlink disinyalir gencar menebar gimmick marketing dan endorse influencer dalam menyuarakan kualitas dan kecepatan Starlink di media sosial.
“Dengan pengguna yang masih sangat sedikit, kualitas dan kecepatan Starlink dipertanyakan. Bagaimana nanti jika sudah banyak masyarakat yang menggunakan Starlink, kualitas layanan broadband-nya dipastikan bisa menjadi lebih buruk lagi,” ujar Ardi, Selasa (21/5/2024).
Ketika jumlah pelanggan mulai ramai, jaringan internet satelit Starlink akan penuh dan menyebabkan latensi kian tinggi. Walhasil, kecepatan internetnya tidak lagi sekencang saat jumlah pelanggan masih sedikit.
Berdasarkan pengalaman sebagai praktisi teknologi telekomunikasi, Ardi mengungkapkan banyak kendala yang dihadapi teknologi satelit.
“Terlebih lagi Starlink sangat rentan terhadap halangan pohon atau gedung. Bahkan sinyal bisa tidak stabil atau hilang,” ujarnya.
Laporan Ookla Research, pada November 2023, kecepatan Starlink di Amerika hanya 79 Mbps. Kecepatan ini jauh di bawah layanan AT&T Fiber yang bisa mencapai 325 Mbps.
Kecepatan itu tak jauh berbeda dengan yang dilakukan di Ibu Kota Nusantara (IKN). Dalam uji coba di Hunian Pekerja Konstruksi (HPK), laju internet Starlink hanya mencapai maksimal 80 Mbps.
“Memang Starlink jumlahnya banyak, namun yang tak kita ketahui adalah berapa besar kapasitas mereka untuk layanan ke konsumen ritel. Hingga saat ini Starlink tak pernah mengungkapkan berapa kapasitas sesungguhnya yang mereka siapkan untuk melayani konsumen,” kata Ardi.
Selain itu, Starlink juga rawan terhadap gangguan cuaca. Ardi menjelaskan perangkat penerima (ground segment) yang dipasarkan di Indonesia merupakan generasi kedua.
“Padahal saat ini perangkat penerima yang sudah dikeluarkan Starlink sudah generasi ketiga dan keempat,” bebernya.
Ardi menambahkan, Indonesia hanya menerima generasi kedua karena perangkat penerima yang tak laku di pasaran akibat kelebihan stok dijual di Indonesia.
“Starlink akan menghabiskan stok lama terlebih dahulu untuk mengosongkan gudang meski memahami bahwa perangkatnya tidak cocok di Indonesia. Untuk gimmick marketing, maka perangkat penerima yang dijual di Indonesia seolah murah,” ucapnya.
“Jika menggunakan perangkat penerima terbaru harganya lebih mahal Rp 5 juta dari harga perangkat yang saat ini dijual di Indonesia. Harga perangkat Starlink yang dijual di Indonesia saat ini Rp 7,8 juta,” Ardi menambahkan.
Dengan harga dan kualitas yang terbilang mahal, menurut Ardi layanan Starlink tidak cocok untuk memberikan layanan dan fasilitas publik di Indonesia, terlebih di daerah yang sudah tersedia jaringan fiber optic atau selular.
“Mungkin untuk di daerah rural atau di tengah laut yang tak ada jaringan selular dan fiber optic, serta tidak ada halangan pohon, layanan Starlink bisa digunakan,” ia memungkaskan.
Sementara itu, peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Beltsazar Krisetya menjelaskan Starlink membuka akses internet untuk daerah rural. Masyarakat akan bisa terjangkau internet dengan mudah dan bisa mempercepat tercapainya agenda digitalisasi di Indonesia.
Namun di sisi lain, dia menjelaskan ada potensi ketidaksiapan pemerintah dalam [pengawasan. Misalnya belum adanya Otoritas Perlindungan Data (DSA) dan komisi Pelindungan Data Pribadi yang terkait UU PDP.
Ini membuat insiden kebocoran data masih minim penindakan. Padahal pemerintah juga perlu menyepakati soal data pengguna dengan pihak Starlink.
“Padahal, pemerintah perlu bersepakat dengan Starlink [dan juga ISP internasional lain] terkait data pengguna. Apakah lokasi fisik data pengguna hanya boleh berada di Indonesia, atau boleh dilewatkan ke beberapa negara lain tempat Starlink beroperasi?” kata Beltsazar kepada CNBC Indonesia beberapa waktu lalu.
Dalam beberapa kesempatan, pemerintah memang menekankan soal kewajiban penggunaan IP Address di Indonesia. Misalnya tahun lalu, Menteri Kominfo Budi Arie Setiadi menegaskan layanan milik miliarder Elon Musk itu harus ikut hukum yang berlaku di Indonesia.
“Starlink itu harus mengikuti hukum yang berlaku di Indonesia. Jadi kami, misalnya, mengatakan IP Addressnya harus Indonesia. Kalau enggak nanti pemerintah enggak punya alat kontrol lagi terhadap Starlink. Nanti entar judi online, pornografi lewat Starlink semua,” kata Budi di Jakarta, Kamis (19/10/2023).
Dalam kesempatan lain, Budi memastikan pemerintah akan adil pada semua pemain. Termasuk mengawasi kompetisi yang sehat dan menyamaratakan level of playing field bagi ekosistem.
Starlink juga telah bekerja sama dengan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Kerja sama itu juga akan mengintegrasikan layanan Starlink dengan infrastruktur lokal.
Beltsazar juga menekankan soal kompetisi usaha yang bisa diawasi pemerintah. Dengan kerja sama antara APJII dan Starlink, tugas sekarang adalah melakukan pengawasan.
Selain itu pemerintah juga diminta bisa melakukan filter situs berbahaya pada Starlink. Sebelumnya ini dilakukan pula pada ISP lokal.
“Filter situs-situs berbahaya yang selama ini diberlakukan oleh Kominfo ke ISP anggota APJII, juga harus diberlakukan ke Starlink,” ujarnya.(*)
Penulis : Fatimah Purwoko