INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Warga Nahdlatul Ulama (NU) alumni Universitas Gadjah Mada (UGM) menolak eksploitasi tambang oleh organisasi masyarakat (ormas). Menyusul terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
Perwakilan Warga NU alumni UGM, Slamet Thohari, menyatakan ketidaksetujuan pihaknya terhadap PP No 25/2024.
“Pemerintah yang melibatkan ormas dalam ekstraksi batubara adalah jalan menggeser ormas ke kelompok kapitalis. Menempatkannya di sisi yang mengeksploitasi manusia lain dan menjarah alam/Bumi,” lontarnya dalam keterangan tertulis, Senin(10/6/2024).
Slamet bilang, NU telah mengeluarkan beberapa keputusan terkait tambang dan energi. Muktamar NU ke-33 di Jombang pada 2015 menyerukan moratorium semua izin tambang. Bahtsul Masail yang diselenggarakan LAKPESDAM-PBNU dan LBM-PBNU pada 2017 menghasilkan dorongan bagi pemerintah untuk memprioritaskan energi terbarukan yang ramah lingkungan dan mengurangi penggunaan energi fosil untuk mencegah kerusakan lingkungan.
Muktamar NU ke-34 di Lampung pada 2021 merekomendasikan bahwa pemerintah perlu menghentikan pembangunan PLTU batubara baru mulai 2022 dan penghentian produksi mulai 2022 serta early retirement/phase-out PLTU batubara pada 2040 untuk mempercepat transisi ke energi yang berkeadilan, demokratis, bersih, dan murah.
“Putusan, seruan, dan rekomendasi NU ini seharusnya menjadi pedoman bagi pengurus PBNU sekarang dan ke depan dalam menjalankan roda organisasi,” sebutnya.
Oleh sebab itu, Slamet berharap PBNU sadar dengan penuh empati bahwa dampak kerusakan akibat tambang paling banyak dirasakan oleh petani, peladang, dan nelayan yang kebanyakan adalah warga nahdliyin kelompok yang seharusnya menjadi tempat/sisi bagi pengurus NU untuk berpihak.
Slamet lantas membeberkan, alasan Warga NU Alumni UGM menolak PP No 25/2024. Batubara adalah sumber energi kotor yang berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan perubahan iklim, menyebabkan banyak bencana di Indonesia.
Nusantara sangat sensitif terhadap perubahan iklim dan geofisika/tektonik, menjadikannya salah satu daerah paling rawan bencana di dunia. Perubahan iklim meningkatkan kejadian dan dampak cuaca ekstrim, memperburuk bahaya hidrometeorologi seperti banjir, kekeringan, angin topan, puting beliung, dan tanah longsor.
Meskipun gempa bumi menyebabkan lebih banyak kematian, bencana hidrometeorologi menyebabkan lebih banyak korban luka, pengungsian, dan kerusakan harta benda. Emisi gas rumah kaca diperkirakan akan mengubah iklim tropis Pasifik, mempengaruhi sistem El NinoSouthern Oscillation (ENSO), dan menyebabkan kejadian El Nino dan La Nina yang lebih ekstrim.
Ekstraksi batubara di Indonesia, yang pada dasarnya hanya menyumbang sekitar 3% dari cadangan dunia, adalah kejahatan. Ekstraksi ini memperburuk kualitas sosial dan ekologi melalui perampasan tanah, penggusuran, deforestasi, polusi, dan lubang pasca tambang yang ditinggalkan.
Perubahan sosial dan ekologi di sekitar situs ekstraksi batubara yang melibatkan pemerintah, elit politik dan ekonomi, masyarakat (adat, setempat, penduduk lokal), penghancuran kantong resapan air, serta peningkatan risiko banjir dan tanah longsor, semakin memperparah situasi. Deforestasi mengurangi sumber oksigen dan menambah emisi karbon, memperburuk pemanasan global. Emisi dari batubara juga berbahaya bagi kesehatan pernapasan. Lubang-lubang pasca tambang yang tidak direklamasi telah merenggut banyak korban di Kalimantan, Sumatera, Bangka, dan daerah lainnya.
Ekstraksi batubara di Indonesia berkelindan dengan korupsi. Dalam dua puluh tahun terakhir, banyak pejabat publik terjerat kasus korupsi terkait tambang batubara. Studi As’ad dan Aspinall (2015) menemukan bahwa bos tambang batubara mendanai kandidat pemilu lokal di Kalimantan Selatan, memperoleh pengaruh istimewa dalam pemerintahan, terutama dalam membuat keputusan soal izin dan alokasi konsesi tambang.
Inisiatif untuk memperbaiki ekstraksi alam/Bumi sering gagal; secara teknik-manajerial karena suap oleh para penambang kepada pejabat pemerintah mempersulit penegakan peraturan; secara lebih substantif karena dalam ekstraksi alam/Bumi seperti batubara menubuh-membentuk dan dibentuk oleh–kapitalisme yang konsisten berjalan pada roda eksploitasi manusia/buruh dan penjarahan alam/Bumi oleh kapitalis.
Untuk diketahui, kegaduhan terjadi pada saat Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Perubahan atas PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
1. Pasal 83A : pemberlakukan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) eks Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) secara prioritas kepada Badan Usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan (Ormas) keagamaan ⇒ Pasal 83A PP Nomor 25 Tahun 2024 bertentangan dengan Pasal 75 Ayat (2) dan (3) UU Minerba dimana prioritas pemberian IUPK diberikan kepada Badan Usaha Milik Nasional (BUMN) dan Badan Usaha Milik Daerah (BUMD).
2. Pasal 195B Ayat (2): Pemerintah dapat memberikan perpanjangan bagi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi Produksi sebagai kelanjutan operasi Kontrak/Perjanjian selama ketersediaan cadangan dan dilakukan evaluasi setiap 1O (sepuluh) tahun.
Dalih bahwa menerima konsesi tambang adalah kebutuhan finansial untuk menghidupi roda organisasi harus dibuang jauh-jauh karena itu justru menunjukkan ketidakmampuan pengurus dalam mengelola potensi NU.
Maka dengan mempertimbangkan masalah-masalah di atas, 68 warga NU alumni UGM, menyatakan sikap sebagai berikut:
1. Menolak kebijakan pemerintah memberikan izin kepada organisasi keagamaan untuk mengelola pertambangan seperti ekstraksi batubara karena akan merusak organisasi keagamaan yang seharusnya menjaga marwah sebagai institusi yang bermoral.
2. Meminta pemerintah untuk membatalkan pemberian izin tambang pada ormas keagamaan karena berpotensi hanya akan menguntungkan segelintir elit ormas, menghilangkan tradisi kritis ormas, dan pada akhirnya melemahkan organisasi keagamaan sebagai bagian dari kekuatan masyarakat sipil yang bisa mengontrol dan mengawasi pemerintah, atas ongkos yang sebagian besar akan ditanggung oleh nahdliyin (rakyat).
3. Mendesak PBNU untuk menolak kebijakan pengelolaan tambang untuk ormas keagamaan dan membatalkan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diajukan karena akan menjerumuskan NU pada kubangan dosa sosial dan ekologis.
4. Mendesak PBNU agar kembali berkhidmah untuk umat dengan tidak menerima konsesi tambang yang akan membuat NU terkooptasi menjadi bagian dari alat pemerintah untuk mengontrol masyarakat, serta terus mendorong penggunaan energi terbarukan.
5. Meminta PBNU untuk menata organisasi secara lebih baik dan profesional dengan mendayagunakan potensi yang ada demi kemandirian ekonomi tanpa harus masuk dalam bisnis kotor tambang yang akan menjadi warisan kesesatan historis.
6. Mendesak pemerintah untuk konsisten dengan agenda transisi energi Net Zero Energy 2060 yang di antaranya dengan meninggalkan batubara, baik sebagai komoditas ekspor maupun sumber energi primer, serta menciptakan enabling environment bagi tumbuhnya energi terbarukan melalui regulasi.
7. Mendesak pemerintah untuk mengawal kebijakan, mengawasi, dan melakukan penegakan hukum lingkungan atas terjadinya kehancuran tatanan sosial dan ekologi seperti perampasan lahan, penggusuran, deforestasi, eksploitasi, korupsi, dan polusi, akibat aktivitas pertambangan batubara.
8. Menyerukan seluruh elemen masyarakat untuk berkonsolidasi dan terus berupaya membatalkan peraturan yang rawan menyebabkan kebangkrutan sosial dan ekologi.(*)
Penulis : Fatimah Purwoko