Headline Kesehatan

Mengenal Virus JE yang Dapat Serang Syaraf dan Berpotensi Kematian

INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Kota Yogyakarta jadi salah satu wilayah yang jadi pilot projek imunisasi Japanese Encephalitis (JE). Virus ini adalah flavivirus yang berhubungan dengan virus dengue, demam kuning, dan West Nile, dan disebarkan oleh nyamuk (terutama Culex tritaeniorhynchus) menyerang syaraf dan dapat mengakibatkan kematian.

Mengutip dari World Health Organization (WHO), virus ensefalitis Jepang (JE) merupakan penyebab utama ensefalitis virus di Asia. Virus ini merupakan flavivirus yang ditularkan melalui nyamuk dan termasuk dalam genus yang sama dengan virus dengue, Zika, demam kuning, dan West Nile.

“Kasus pertama penyakit virus ensefalitis Jepang (JE) didokumentasikan pada tahun 1871 di Jepang,” tulis WHO dalam situs resminya, dikutip Kamis (5/9/2024).

Insiden tahunan penyakit klinis akibat virus JE bervariasi baik di seluruh negara endemis maupun di Jepang, berkisar antara 10 per 100.000 populasi atau lebih tinggi selama wabah. Sebuah tinjauan pustaka dan studi pemodelan memperkirakan sekitar 100.000 kasus klinis (95% CI: 61.720–157.522) JE secara global setiap tahun, dengan sekitar 25.000 kematian (95% CI: 14.550–46.031).

Dikatakan, JE terutama menyerang anak-anak. Sebagian besar orang dewasa di negara-negara endemis memiliki kekebalan alami setelah infeksi masa kanak-kanak, tetapi individu dari segala usia dapat terpengaruh.

Dua puluh empat negara di kawasan Asia Tenggara dan Pasifik Barat WHO memiliki risiko penularan JE, yang mencakup lebih dari 3 miliar orang. JE ditularkan ke manusia melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi dari spesies Culex (terutama Culex tritaeniorhynchus ).

“Manusia, setelah terinfeksi, tidak mengembangkan viremia yang cukup untuk menginfeksi nyamuk yang mencari makan. Virus tersebut ada dalam siklus penularan antara nyamuk, babi dan/atau burung air (siklus enzootik),” sebut WHO.

Penyakit akibat JE, jelas WHO, sebagian besar ditemukan di daerah pedesaan dan pinggiran kota, di mana manusia tinggal lebih dekat dengan inang vertebrata ini, khususnya babi peliharaan. Di sebagian besar daerah beriklim sedang di Asia, JE ditularkan terutama selama musim hangat, ketika epidemi besar dapat terjadi. Di daerah tropis dan subtropis, penularan dapat terjadi sepanjang tahun tetapi sering kali meningkat selama musim hujan dan periode pra-panen di daerah penanaman padi.

“Individu yang tinggal atau pernah bepergian ke daerah endemis JE dan mengalami ensefalitis dianggap sebagai kasus JE yang dicurigai,” WHO menjelaskan.

Diagnosis awal JE dapat dilakukan melalui pemeriksaan klinis yang diikuti dengan pungsi lumbal. Tes laboratorium diperlukan untuk memastikan infeksi JEV dan menyingkirkan penyebab ensefalitis lainnya. WHO merekomendasikan pengujian antibodi IgM spesifik JEV dalam satu sampel cairan serebrospinal (CSF) atau serum, menggunakan ELISA penangkap IgM. Jika hasil tes negatif, sampel pasien yang sembuh dapat diuji. Pengujian sampel CSF lebih disukai untuk mengurangi tingkat positif palsu dari infeksi atau vaksinasi sebelumnya.

Pengawasan penyakit ini sebagian besar bersifat sindromik untuk sindrom ensefalitis akut. Pengujian laboratorium konfirmasi sering dilakukan di lokasi sentinel khusus, dan berbagai upaya dilakukan untuk memperluas pengawasan berbasis laboratorium.

“Pengawasan berbasis kasus ditetapkan di negara-negara yang secara efektif mengendalikan JE melalui vaksinasi,” tegas WHO.

Kemajuan telah dicapai di Asia dengan penerapan program vaksinasi JE. Sebagian besar negara endemis memiliki program yang berlaku di seluruh negara atau yang ditargetkan. Penurunan insiden penyakit ini telah dilaporkan dalam beberapa tahun terakhir, yang kemungkinan sebagian disebabkan oleh vaksinasi.

Vaksin JE yang aman dan efektif tersedia untuk mencegah penyakit. WHO pun merekomendasikan adanya kegiatan pencegahan dan pengendalian JE yang kuat, termasuk imunisasi JE di semua wilayah tempat penyakit tersebut menjadi prioritas kesehatan masyarakat yang diakui, bersama dengan penguatan mekanisme pengawasan dan pelaporan.

“Bahkan jika jumlah kasus JE yang dikonfirmasi rendah, vaksinasi harus dipertimbangkan jika terdapat lingkungan yang sesuai untuk penularan virus JE. Pengenalan vaksin harus dilakukan bersamaan dengan kampanye penanggulangan satu kali,” beber WHO.

Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta Emma Rahmi Aryani membeberkan pihaknya memfasilitasi sekitar 81 ribu anak untuk mendapat vaksin JE.

“Dilakukan mulai 3 September sampai 31 Oktober. Selama 2 bulan, setelahnya akan rutin dilakukan imunisasi JE untuk posyandu yang sudah 10 bulan,” ujarnya pada wartawan.

Emma pun membeberkan, kumulatif akibat virus JE di DIY dari 2013 ada sebanyak 10 kasus. “Tapi bukan semua di Kota Yogyakarta, hanya lokasi faskes di DIY. Terdampak? Enggak jangan ada,” sebutnya.

Salam prosedurnya, Dinkes Kota Yogyakarta berkoordinasi dengan puskesmas dan kematren.

“Kami mengundang para mantri, agar puskesmas dan kemantren berkoordinasi. Vaksinasi bisa dilakukan di puskesmas atau di wilayah. Tapi kami titik beratkan di puskesmas,” ucapnya.

Selain itu, Dinkes Kota Yogyakarta juga menyasar sekolah untuk memfasilitasi anak usia sampai 15 tahun.

“Sasaran juga ada yang di sekolah karena sampai 15 tahun maka dilaksanakan di sekolah masing-masing,” sebutnya.

Terkait antisipasi KIPI, Dinkes Kota Yogyakarta menerima materi dari dokter anak. Bahwa KIPI dari vakain JE terbilang ringan. Namun, kewaspadaan tetap dilakukan.

“Kami mengantisipasi juga kalau terjadi KIPI kalau bisa ditangani ya ditangani. Kalau tidak bisa ya dirujuk. Sudah ada protap dan alur sudah ada,” jabarnya.

Selain itu, Dinkes Kota Yogyakarta pun meneliti gejala KIPI yang biasanya membuat anak demam. “Kalau kena, vaksinasi dari dokter juga kalau demam kami kasih penurun panas,” ucapnya.(*)

Penulis : Fatimah Purwoko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *