INTENS PLUS – YOGYAKARTA. DRPD Kota Yogyakarta menerima audiensi pedagang Teras Malioboro (TM) 2, pada Selasa (17/9/2024). Audiensi pedagang TM 2 diterima oleh Ketua Sementara DPRD Kota Yogyakarta FX Wisnu Sabdono Putro dan anggota DPRD Kota Yogyakarta Susanto Dwi Antoro.
Antoro bilang, ada ancaman terhadap imej Kota Yogyakarta jika masalah terus berlarut. “Saya rasa ini yang menjadi poin tersendiri. Kami berharap, mari selesaikan permasalahan dengan secepat mungkin,” ujar dia diwawancarai di Gedung DRPD Kota Yogyakarta, pada Selasa (17/9/2024).
Dia juga bilang, audiensi merupakan bagian dari pihaknya menunjukkan bahwa DPRD adalah rumah rakyat. “Sehingga kami tidak boleh menutup pintu ketika rakyat kami membutuhkan saluran untuk menyampaikan aspirasi atau pun permasalahan,” katanya.
Dia bilang, relokasi terhadap pedagang TM 2 dengan fasenya yang panjang dan tersumbat dalam tercapainya kesepakatan bersama Pemkot Yogyakarta. “Kami dengan teman-teman DPRD Kota Yogyakarta akan menjembatani, mengkomunikasikan dengan pihak terkait, salah satunya dengan UPT Pengelola Kawasan Cagar Budaya Dinas Kebudayaan Kota Yogyakarta, dan Pemkot Yogyakarta,” sebutnya.
“Kebetulan, kemarin kami tergabung dalam pansus terakhir terkait dengan validasi pedagang TM 2. Salah satu poin yang kami catat adalah provinsi akan menunggu kesepakatan di tingkat kota dulu di Kota Yogyakarta,” imbuhnya.
Ketua Paguyuban Tri Dharma yang menaungi pedagang TM 2, Supriyati, mengatakan DPRD Kota Yogyakarta punya kewenangan untuk mengawasi dan evaluasi kerja Pemkot Yogyakarta dan UPT Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kota Yogyakarta. Sebab beberapa kali anggota Tri Dharma kena kekerasan dan represif dari petugas UPT.
“Dan juga ada ancaman, dengan mendatangi rumah anggota kami untuk dimintai tanda tangan persetujuan relokasi,” beber Upik, sapaan akrabnya, diwawancarai di Gedung DRPD Kota Yogyakarta usai audiensi, pada Selasa (17/9/2024).
Pedagang TM 2 yang mengalami intimidasi, kata Upik, sampai merasa ketakutan untuk berjualan. Padahal, mereka butuh mencari nafkah untuk keluarga. Oleh sebab itu, Upik ingin DPRD Kota Yogyakarta untuk mendampingi mereka.
“Kami hanya ingin dewan mendampingi anggota kami yang selama ini merasa takut, bingung juga. Karena beberapa kali pihak UPT (mengancam) jika tidak menandatangani (pernyataan setuju relokasi), tidak ke UPT, lapaknya akan hilang,” ungkap Upik.
Dari hasil audiensi, kata Upik, mereka dijanjikan untuk berdialog dengan Kepala UPT Pengelola Kawasan Cagar Budaya Kota Yogyakarta dan instansi terkait lainnya.
“Lagi-lagi, kami sudah beberapa kali bernegosiasi secara informal. Tapi setelah pertemuan informal, hasilnya tidak ada tindak lanjut. Kami ke sini untuk menekan dewan menjalankan fungsinya yaitu mengawasi dan mendampingi teman-teman anggota kami,” tegasnya.
Dalam tuntutan Tri Dharma, sebut Upik, mereka ingin dilibatkan dalam proses relokasi. Hal itu berkaitan dengan pentingnya terwujud relokasi yang menyejahterakan. “Sampai saat ini pihak dari Pemprov DIY dan Pemkot seakan antipati pada kami. Kami ingin ruang dialog dua arah. Tapi sampai saat ini kami tidak terakomodasi. Makanya kami selalu melakukan audiensi untuk menekan pemerintah untuk mau membuka ruang dialog secara terbuka dan dua arah,” lontarnya.
Upik bilang, jika paguyubannya tetap tidak diakomodasi untuk terlibat dalam proses relokasi, akan melapor ke Komnas HAM dan UNESCO. Dalam langkah itu, Tri Dharma pun kini tengah menyusun kajian dan narasi. “Sejauh ini kami akan terus mencoba berkomunikasi sampai akhir. Misalnya nanti masih ada kebuntuan Pemprov DIY sebagai pemangku kebijakan, kami akan mencoba menaikkan ekskalasi kami untuk mengadu ke UNESCO dan Komnas HAM,” ucapnya.
Upik pun mempertanyakan pernyataan Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwuno (HB) X, yang menyatakan bahwa pedagang TM 2 bukan pemilik tanah. Mengingat lokasi TM 2 nantinya akan dibangun Jogja Planning Gallery (JPG). Proyek ini disebut akan mewadahi gerai UMKM premium. “Sedangkan janji dari pemerintah, kami direlokasi ke TM 2 supaya naik kelas. Tapi kok malah digusur lagi ke tempat lain?” ujarnya.(*)
Penulis : Fatimah Purwoko