INTENS PLUS – SEMARANG. Polda Jawa Tengah (Jateng) telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus dugaan bullying dan pemerasan mahasiswi PPDS Anestesi Universitas Diponegoro (Undip), dr Aulia Risma. Kuasa hukum keluarga korban meminta agar izin profesi ketiga tersangka dicabut.
Diketahui, Polda Jateng telah menetapkan tiga tersangka dalam kasus bullying dan pemerasan di balik kematian Aulia. Tiga tersangka itu inisial TE, SM, dan Z yang merupakan Kaprodi, Kepala Staf Medis, hingga senior korban.
Kuasa hukum keluarga korban, Misyal Ahmad, mengatakan sudah cukup puas dengan penetapan tersangka ini. Namun, ia berharap kasus ini bisa terus dikembangkan hingga memunculkan tersangka-tersangka baru.
“Mudah-mudahan ada residen lagi yang dijadikan tersangka. Buat saya, buat keluarga, ini sebenarnya sudah cukup. Ada unsur dari mahasiswa, kaprodinya,” kata Misyal dikutip dari DetikJateng, Rabu (25/12/2024).
“(Kaprodi) paling harus bertanggung jawab, dia kepala program pendidikan yang dibayar oleh negara untuk mengawal pendidikan, tapi justru tidak mengawal dan membiarkan hal-hal tidak pantas ini terjadi,” sambungnya.
Tak berhenti sampai di sini saja, kata Misyal, ke depan pihaknya akan terus berjuang agar para tersangka dicabut izin profesinya sehingga tak bisa lagi bekerja sebagai dokter. Sebab, menurutnya tindakan yang dilakukan para tersangka ini telah melanggar kode etik profesi.
“Saya akan berjuang untuk tersangka dokter ini tidak lagi bisa menjadi dokter sampai kapan pun, itu akan saya perjuangkan. Bagaimana caranya izinnya dicabut semua, karena saya rasa mereka ini sakit secara mental,” tegasnya.
“(Termasuk tidak boleh mengajar?) Semua, praktik saja tidak boleh, apalagi mengajar, tidak boleh. Saya akan berjuang untuk itu,” sambungnya.
Menanggapi pernyataan Kabid Humas Polda Jateng Kombes Artanto yang menyebut ketiga tersangka belum ditahan, Misyal pun mendesak Polda Jateng untuk segera menahan para tersangka yang dijerat Pasal 368 KUHP, 378 KUHP, dan 355 KUHP tersebut.
“Kami berharap tersangka ditahan, karena kalau ancaman 5 tahun ke atas bisa ditahan, dan wewenang kepolisian untuk menahan,” tegasnya.
Menurutnya, tersangka harus ditahan demi mencegah adanya potensi penghilangan barang bukti serta mencegah kejadian tersebut terulang kembali.
“Kami berhak mengajukan permohonan untuk dilakukan penahanan, karena kejahatan yang dilakukan adalah kejahatan yang mengkhawatirkan menghilangkan barang bukti, mengingat prosedurnya cukup lama,” jelasnya.
Lebih lanjut, Misyal juga menanggapi soal barang bukti dalam kasus tersebut yakni uang sebanyak Rp 97.077.500 yang telah dikumpulkan dari pemerasan oleh para tersangka.
“(Apakah terlalu sedikit?) Buat kami tidak ada masalah soal nilai, yang penting kejahatan terungkap. Kita kalau bicara mengenai pemerasan Rp 10 ribu dan Rp 10 miliar itu sama. Pemerasan itu ada. Hal-hal seperti inilah yang harus dibersihkan,” tuturnya.
“Karena kalau pemerasan dilakukan oleh kaum intelektual lebih bahaya sekali. Orang-orang pinter yang melakukan kejahatan sangat membahayakan. Makanya ini harus diusut tuntas,” sambungnya.
Ia mengaku telah mengajukan surat permohonan kepada Kementerian Kesehatan untuk segera membentuk satuan tugas. Sebab, ia menilai hotline yang dimiliki Kemenkes untuk melaporkan bullying tidak efektif.
“Harus bentuk satgas yang ada unsur kepolisian, kejaksaan, praktisi hukum untuk membentuk satgas anti bullying. Dimana semua pelaku bullying harus diproses pidana,” pintanya.
“Jika terbukti maka harus dihentikan menjadi dokter, tidak terbukti ya menjalani aktivitas sebagaimana mestinya jadi tidak hanya hukum administrasi seperti yang sudah-sudah,” lanjutnya.
Tak hanya itu, Misyal juga mengungkapkan kekecewaannya kepada Ikatan Dokter Indonesia (IDI) yang dirasa kurang berkontribusi dalam mengungkap kasus tersebut. Padahal, korban merupakan anggota IDI.
“Kenapa (IDI) tidak menyiapkan lawyer saat itu untuk mendampingi korban. Harusnya bukan saya yang mendampingi, tapi dari IDI. Kok dia pilih pelakunya bukan korbannya, aneh ini,” ujarnya.
Sebelumnya, Kabid Humas Polda Jawa Tengah, Kombes Artanto mengatakan tiga tersangka yaitu TE, SM, dan Z. Mereka dijerat Pasal 368 ayat 1 KUHP tentang pemerasan, Pasal 378 KUHP tentang penipuan dan atau tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUHP dan atau secara melawan hukum memaksa orang lain melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 335 ayat 1 butir 1 KUHP.
“Ancaman hukumannya maksimal sembilan tahun,” kata Artanto di Lobi Polda Jateng, Selasa (24/12/2024). (*)
Penulis: Fatimah Purwoko