Headline Internasional

Puisi Chairil Anwar Terpajang di Pintu Stasiun Kereta Seoul

INTENS PLUS – JAKARTA. Puisi karya Chairil Anwar terpajang di pintu dua stasiun kereta bawah tanah Seoul, Korea Selatan. Mahakarya Chairil Anwar ini dapat dijumpai di Stasiun Yeouido jalur 5, peron 8-2 dan 8-3; serta Stasiun Gangnam jalur 2, peron 3-3 dan 3-4.

Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Seoul menjelaskan, pemasangan puisi ini dilakukan dalam rangka Program Puisi Multinasional oleh Pemerintah Kota Seoul. Program ini berkolaborasi dengan kedutaan besar dari berbagai negara.

Negara-negara yang memasang puisi antara lain Mongolia, Inggris, dan Vietnam. Total ada 27 negara yang berpartisipasi.

Kuasa Usaha Ad Interim (KUAI) atau Charge d’Affaires RI di Seoul, Zelda Wulan Kartika, dalam wawancara yang dimuat di kanal YouTube Arirang TV, 24 Januari 2025, menerangkan isi puisi Aku dan mengapa memilih karya tersebut.

“Kami merasa sangat terhormat dan sedikit terkejut, tetapi dalam arti positif. Kami sangat memahami puisi begitu dihargai oleh masyarakat Korea, jadi inilah mengapa kami ingin mengenalkan Indonesia melalui puisi ke publik Korea,” ujarnya.

Lebih lanjut, Zelda menjelaskan bahwa ide inovatif pemasangan puisi ini sejalan dengan misi KBRI Seoul untuk memperkuat hubungan bilateral, terutama dalam mengenalkan pertukaran budaya antara Indonesia dan Korea.

“Puisi Aku adalah karya yang paling terkenal dari Chairil Anwar, berupa pernyataan dari penegasan diri dan menantang diri sendiri, kebebasan, dan keberanian,” kata dia.

Hal itulah yang kemudian membuat KBRI Seoul memilih puisi Aku untuk dipajang, mengingat puisi tersebut menunjukkan semangat individu dalam membangun kehidupan. “Barisnya yang terkenal adalah di baris terakhir, ‘Aku mau hidup seribu tahun lagi’, menunjukkan semangat hidup menggebu-gebu untuk mencapai tujuan,” ucapnya.

“Pesan universal tentang semangat dan determinasi diri ini membuat puisi itu tak lekang oleh waktu dan masih berhubungan dengan lintas budaya termasuk masyarakat Korea, saya pikir,” Zelda menambahkan.

Di akhir wawancara, Zelda turut menyebutkan nama sejumlah penulis karya sastra terkenal di Indonesia selain Chairil Anwar, antara lain Leila Chudori dan Sapardi Djoko Damono.

Chairil Anwar lahir di Medan pada 26 Juli 1922 dari pasangan Tulus dan Saleha. Ia meninggal dunia di Jakarta pada 28 April 1949.

“Chairil Anwar bukan sekadar penulis puisi di Indonesia. Dia juga merupakan tokoh budaya dan sejarah, sangat dihormati dan dihargai oleh semua generasi di Indonesia,” kata dia.

“Dia juga merupakan bapak puisi Indonesia modern, serta simbol perjuangan Indonesia saat penjajahan,” pungkas Zelda.

Semasa hidupnya Chairil merasa terkekang, kemudian memengaruhi kehidupan dan karya-karyanya. Dia bersekolah di Hollandsch lnlandsche School (HlS) di Medan, kemudian melanjutkan ke MULO Medan. Namun, saat kelas dua ia pergi ke Jakarta yang saat itu masih disebut dengan Batavia.

Chairil pernah membacakan ibunya buku berjudul Layar Terkembang karangan dari Sutan Takdir Alisyahbana dengan keras. Oleh karena suaranya terdengar oleh polisi, ia dipanggil untuk diperiksa mengenai berbagai hal seperti filsafat, politik, kesusasteraan, agama, dan lain-lain.

Selama hidupnya, Chairil Anwar menghasilkan 96 karya termasuk 70 puisi. Sejumlah karyanya merupakan puisi bertema perjuangan seperti Aku, Karawang-Bekasi, dan Diponegoro. Karya lain Chairil yang terkenal bertema percintaan dan renungan seperti Senja di Pelabuhan Keci, Doa, dan Selamat Tinggal.

Chairil Anwar meninggal karena menderita beragam penyakit, di antaranya paru-paru, infeksi darah kotor, dan usus. Ia meninggal pada 28 April 1949 pukul 14.30 dalam usia 27 tahun.

Nama Chairil Anwar pun melekat dengan peringatan Hari Puisi Nasional. Mari mengenang puisi-puisi Chairil Anwar di Hari Puisi Nasional.
Chairil Anwar merupakan sosok di balik peringatan ini. Dedikasinya pada Sastra Indonesia membuatnya dikenang dalam peringatan Hari Puisi Nasional.

Lukisan sosok Chairil Anwar | Foto : Ist

Berikut 10 Puisi Karya Chairil Anwar untuk dijadikan referensi merayakan Hari Puisi Nasional 2024.

1. Aku
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu
Tidak juga kau

Tak perlu sedu sedan itu

Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang

Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang

Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri

Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi

2. Selamat Tinggal
Perempuan

Aku berkaca
Bukan buat ke pesta

Ini muka penuh luka
Siapa punya?

Kudengar seru-menderu
dalam hatiku?
Apa hanya angin lalu?

Lalu lain pula
Menggelepar tengah malam buta

Ah…!!!

Segala menebal, segala mengental
Segala tak kukenal….

Selamat tinggal…!!!

3. Pelarian
I
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Dihempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.

II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa? Rayu dan pelupa,

Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!

Turut saja!”
Tak kuasa …terengkam
Ia dicengkam malam.

4. Sia-sia
Penghabisan kali itu kau datang
Membawaku karangan kembang
Mawar merah dan melati putih:
Darah dan suci

Kau tebarkan depanku
Serta pandang yang memastikan: Untukmu.
Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?

Cinta? Keduanya tak mengerti.
Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.
Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

5. Tak Sepadan
Aku kira,
Beginilah nanti jadinya
Kau kawin, beranak dan berbahagia
Sedang aku mengembara serupa Ahasvéros.

Dikutuk sumpahi Eros
Aku merangkaki dinding buta
Tak satu juga pintu terbuka.
Jadi baik juga kita padami

Unggunan api ini
Karena kau tidak ‘kan apa apa
Aku terpanggang tinggal rangka.

6. Nisan
Untuk nenekanda,
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu setinggi itu atas debu
Dan duka maha tuan bertakhta.

7. Pelarian
I
Tak tertahan lagi
Remang miang sengketa di sini
Dalam lari
Diempaskannya pintu keras tak berhingga.
Hancur-luluh sepi seketika
Dan paduan dua jiwa.

II
Dari kelam ke malam
Tertawa-meringis malam menerimanya
Ini batu baru tercampung dalam gelita
“Mau apa? Rayu dan pelupa,
Aku ada! Pilih saja!
Bujuk dibeli?
Atau sungai sunyi?
Mari! Mari!
Turut saja!”
Tak kuasa …terengkam
Ia dicengkam malam.

8. Hukum
Saban sore ia lalu depan rumahku
Dalam baju tebal abu-abu
Seorang jerih memikul.
Banyak menangkis pukul.

Bungkuk jalannya – Lesu
Pucat mukanya – Lesu
Orang menyebut satu nama jaya
Mengingat kerjanya dan jasa

Melecut supaya terus ini padanya
Tapi mereka memaling. Ia begitu kurang tenaga
Pekik di angkasa: Perwira muda
Pagi ini menyinar lain masa
Nanti, kau dinanti-dimengerti!

9. Rumahku
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Kaca jernih dari luar segala nampak
Kulari dari gedong lebar halaman
Aku tersesat tak dapat jalan

Kemah kudirikan ketika senjakala
Di pagi terbang entah ke mana
Rumahku dari unggun-timbun sajak
Di sini aku berbini dan beranak

Rasanya lama lagi, tapi datangnya datang
Aku tidak lagi meraih petang
Biar berleleran kata manis madu
Jika menagih yang satu.

10. Taman
Taman punya kita berdua
Tak lebar luas, kecil saja
Satu tak kehilangan lain dalamnya.
Bagi kau dan aku cukuplah

Taman kembangnya tak berpuluh warna
Padang rumputnya tak berbanding permadani
Halus lembut dipijak kaki.
Bagi kita bukan halangan.

Karena
Dalam taman punya berdua
Kau kembang, aku kumbang
Aku kumbang, kau kembang.
Kecil, penuh surya taman kita
Tempat merenggut dari dunia dan ‘nusia. (*)

Penulis : Fatimah Purwoko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *