Ekonomi Yogyakarta

PLN EPI Akan Olah Biomassa Kayu di Gunung Kidul Jadi Sumber Energi Batubara Bahan Kayu

INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Pelaksanaan program Corporate Social Responsibility (CSR) PT PLN Energi Primer Indonesia (EPI) berawal dari penanaman bibit pohon pada (3/2023), kini telah capai pada tahap kelanjutan melakukan pelatihan dan monitoring pohon multifungsi Kalurahan Gombang dan Kalurahan Karangasem, Selasa, (27/5).

Dikarenakan semakin menipisnya bahan bakar fosil (batubara), PLN EPI memanfaatkan lahan kritis di wilayah Gunung kidul ditanami dengan Biomassa kayu untuk diolah menjadi sumber energi batubara bahan kayu.

Kebutuhan bahan co-firing biomassa 48 PLTU milik PLN Group, dari 3 juta ton meningkat menjadi 10 juta ton di tahun 2030. Secara keseluruhan kedepannya, pihak PLN membutuhkan kurang lebih sekitar 10% penggunaan batubara pengganti dari Bahan Kayu.

“Untuk sejauh ini kita baru melakukan penanaman, ini sudah 2 tahun lebih dan memang belum ada tanaman yang dipanen ya. Tapi dalam waktu dekat mungkin di bulan Juni ini kita akan coba untuk melakukan yang namanya panen perdana. Untuk program co-firing biomassa, kurang lebih sekitar 5%-10% digunakan untuk batubara,” ujar Mamit Setiawan, Sekretaris Perusahaan PT PLN EPI. Rabu(28/5/2025).

“Bulan Juni nanti kita bisa hitung berapa ton nanti produk biomassa dihasilkan, bila program ini berhasil maka akan kita lanjutkan lagi pengembangannya,” lanjutnya..

Mamit mempertimbangkan, terkait dengan peningkatan kalori biomassa yang akan dibutuhkannya.  

“Karena saat ini, kita banyak menggunakan limbah. Seperti soda terus juga serbuk aren, terus juga sekam padi. Di mana ini kalau kena hujan kalorinya juga agak sedikit turun. Dan ini memang menyesuaikan juga dengan boiler ataupun kemampuan daripada PLTU terkait dengan program co-firing biomassa,” ucapnya.

“Tetapi tahun ini kami punya target 3 juta ton untuk program co-firing biomassa di 48 PLTU milik PLN Group. Dan mudah-mudahan target ini bisa tercapai, ke depan akan meningkat menjadi 10 juta ton di tahun 2030. Untuk program co-firing biomassa, Jadi itu kurang lebih sekitar 10% daripada penggunaan batubara secara keseluruhan kedepannya,” imbuh Mamit.

Selain kebutuhan bahan biomassa batubara kayu, penambahan bibit pohon terdiri dari bibit kayu jenis Kaliandra, Gmelina (Jati Putih), Gamal dan Indigofera yang akan di tanam di lahan 30 hektare lahan Sultan Ground (SG). 

Warga di Kalurahan Gombang dan Kalurahan Karangasem juga diberi pelatihan untuk memanfaatkan pohon multifungsi tersebut agar menjadi sarana meningkatkan perekonomian warga setempat melalui berbagai pemanfaatan daun sebagai pakan ternak, juga ranting pohon.

“Memang program ini terus kita tingkatkan serta kembangkan dengan program-program yang lain seperti adanya bantuan memberikan kambing perah, kedepan ini bisa sirkuler karena nanti pakannya bisa digunakan sebagian dari daun-daun tanaman bibit tersebut.

Terus juga kita ada program untuk pembuatan bunga bibit seperti saat ini, kita juga pembuatan bubuk organik dan juga pakan silase, ditambah produksi batik. Ini salah satu program yang terus kami kembangkan kedepannya dan ini menjadi etalase percontohan.

Karena kami juga menduplikasi program ini di Tasikmalaya dan juga di Cilacap dan ini akan dikembangkan juga di tempat-tempat lain yang memang punya potensi terutama untuk lahan-lahan kritis ataupun lahan-lahan marginal,” beber Mamit.

Selain itu Raden Mas Gusthilantika Marrel Suryokusumo mengatakan dari Keraton menginginkan bagaimana pemanfaatan tanah kas desa atau SG itu bisa terus bermanfaat untuk masyarakat luas.

“Program Biomassa ini menurut saya sangat baik, karena di Gunung Kidul banyak sekali lahan-lahan kritis yang menurut saya, bisa kita tanami, dan dari hasil tanamannya bisa dimanfaatkan untuk masyarakat langsung,” terangnya.

Menurut Marrel, memang Biomassa batubara dari bahan kayu, ini masih tergolong baru di Indonesia, sehingga perlu pendampingan. Ia menyebut, kalau pemanfaatanya mengedepankan keterlibatan masyarakat secara ekonomi sirkuler yang tidak hanya masalah perbaikan lingkungan saja, tapi juga bisa memberikan manfaat pertumbuhan ekonomi bagi masyarakat di Yogyakarta.

“Ngarso Dalem berpesan kurang lebih saat ini di dua kelurahan kalau di total sekitar 30 hektare. dalam dua tahun bisa berhasil dan berjalan baik, kalau bisa memang membutuhkan 100, 200, 300 hektare pun monggo saja.

Yang penting lahan kritis di daerah Gunung Kidul ini bisa tertanami. Karena kita nggak bisa samakan Daerah Gunung Kidul Tengah Utara dengan Gunung Kidul Selatan 

Nah artinya PR kita juga untuk bagaimana kita bisa meningkatkan ekonomi dengan menjaga lingkungan tanpa perlu banyak membangun,” ucap Marel.(*)

Penulis : Elis

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *