Seni Budaya Yogyakarta

Pendidikan Pancasila Ditampilkankan Pada Gelaran Wayang Kulit Lakon ‘Semar Mbangun Khayangan’

INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Memperingatan Bulan Bung Karno, Juni 2025. DPRD Daerah Istimewa Yogyakarta menyelenggarakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk, Sabtu (21/06) malam, pendidikan Pancasila ditampilkan pada lakon ‘Semar Mbangun Khayangan’.

Pentas budaya wayang kulit tersebut, dibawakan oleh dalang kondang Ki Geter Pamuji Widodo, di halaman Gedung DPRD DIY. 

Acara dibuka secara simbolis oleh Ketua Komisi A DPRD DIY, Eko Suwanto yang menyerahkan tokoh wayang Semar kepada dalang sebagai tanda dimulainya pagelaran. 

Turut mendampingi Wakil Walikota Yogyakarta, Wawan Harmawan dan D Radjut Sukasworo anggota DPRD DIY dari PDI Perjuangan dapil Bantul Barat.

Ratusan masyarakat hadir memadati halaman gedung dewan untuk menyaksikan pertunjukan budaya yang sarat makna itu. Sejumlah tamu undangan dari kalangan eksekutif, legislatif, budayawan, hingga tokoh masyarakat juga turut hadir.

Dalam sambutannya, Eko Suwanto menyatakan bahwa lakon ‘Semar Mbangun Khayangan’ dipilih sebagai refleksi kebudayaan, juga sarat pendidikan Pancasila dan nilai-nilai moral yang relevan dengan situasi kebangsaan saat ini. 

“Lakon ‘Semar Mbangun Khayangan’ merupakan refleksi keteladanan pendidikan Pancasila, dari sini kita belajar dari tokoh bangsa, belajar dari Bung Karno yang menggali rumusan Pancasila dari tanah Indonesia,” ujar Eko Suwanto, politisi PDI Petjuangan lulusan MEP UGM ini, dikutip, Minggu (22/6/2026).

Menurutnya, kisah ini bukan hanya kisah pewayangan semata, melainkan mengandung pesan kebijaksanaan, kritik sosial, dan pengingat atas pentingnya etika dalam kehidupan bernegara.

“Tokoh Semar lambang yang momong rakyat. Momong seluruh warga bangsa. Tokoh yang penuh kesabaran yang tidak melik (pilih-pengen) jabatan,  tidak melik duit. Inilah Semar ora melik jabatan. Ora melik duit,” kata Eko.

Eko menjelaskan, pilihan lakon wayang kulit Semar Mbangun Khayangan dirasakan sesuai dengan harapan masyarakat saat ini.

Melalui jalan kebudayaan pertunjukan wayang kulit ini, masyarakat bisa mendapatkan pembelajaran nilai dan teladan dari sosok Semar.

Gelar wayang kulit bertepatan dengan tanggal 21 Juni bersamaan dengan waktu meninggalnya Bung Karno, kita bersama-sama mendoakan Proklamator bangsa yang malam ini diperingati dan didoakan juga oleh masyarakat di tanah air,” ungkap Eko.

Secara khusus, Eko menyatakan dalam peringatan Bulan Bung Karno yaitu momen lahirnya Pancasila 1 Juni 1945, bersamaan dengan bulan hari kelahiran Bung Karno pada 6 Juni 1901 di Surabaya.

Kemudian bulan tersebut juga bersamaan dengan, wafatnya Proklamator RI pada 21 Juni 1970, DPRD DIY memilih jalan budaya dengan menggelar seni wayang kulit dengan harapan, bisa menggelorakan keteladanan tokoh bangsa dan nilai Pancasila dalam kehidupan kebangsaan saat ini.

Eko mengingatkan, di Yogyakarta, ada banyak tokoh di awal kemerdekaan Indonesia yang memiliki sumbangan sejarah kebangsaan. 

Ada Radjiman Wediodiningrat yang memimpin BPUPKI lalu sejumlah tokoh seperti Kahar Mudzakir, Ki Bagus Hadikusumo tokoh Muhammadiyah. BPH Puruboyo, tokoh yang pernah satu sekolah dengan Sultan HB IX kala sekolah di Belanda. 

Ki Hadjar Dewantara. BPH Bintoro, Ibu Sukaptinah adalah tokoh yang turut merumuskan Pancasila di rangkaian sidang BPUPKI, dan Bung Karno yang menggagas Pancasila 1 Juni.

“Atas peran sejarah para tokoh itu, kita berharap agar pemerintah daerah ke depan segera mendirikan museum kecil di tempat para tokoh-tokoh ini. Harapan kita agar generasi muda mengenal sejarah lahirnya Pancasila,” ucap Eko.

Eko memaparkan, Bung Karno pernah menyebut bahwa rumusan dasar negara ini digali dari Nusantara, digali dari bangsa Indonesia itu sendiri, dan kemudian disebut oleh temannya yang ahli bahasa menjadi Pancasila.

“Langkah menggelorakan nilai Pancasila, meneguhkan karakter bangsa banyak ditemukan, ditengah-tengah kehidupan keseharian masyarakat Yogyakarta.

Contoh yang paling mudah di Jogja, Bakul Gudeg, mempraktekan perikmanusiaan, mempraktekan keadilan dengan cara yang sangat indah.

Ketika Pak Radju makan Gudeg, dihadapkan pada banyak pilihan. Kalau kita pas lagi punya uang, bisa milih dodo mentok, bisa milih paha atas, dan seterusnya.

Kalau uangnya sedikit, mau makan dada, ada judul namanya suir. Yang tidak punya duit lagi, punya lakon, namanya nempil.

Punya duit 10 ribu, datang ke warung, kemudian buk, Pak, nyuwon ngampun ten, kalau namun ga dah sedoso ewu, nyuwun tulung, dati sayur nggeh boten nopo nopo, tapi pulang bisa bawa nasi dan lauk.

Tidak punya uang sama sekalipun di Jogja bisa hidup dengan lakon ngebon, jadi inilah yang sangat indah.

Bakul angkringan juga memberikan contoh pada kita, bagaimana ber-Ketuhanan Yang Maha Esa secara indah.

Ketika yang menghitung makanan, yang menghitung adalah pembelinya, tanpa akuntansi yang modern. Tanpa kwitansi, tanpa CCTV. Ketika ditanya dan dipercaya yang jual, dan penjual langsung percaya.

Begitu kita makan bakwan 3, kemudian kita deklar. Pak Kulo pun ma’em bakwan 2, sampai di rumah gak tenang. Kalau gak percaya Bapak Ibu coba makan bakwan 4 menyebutnya 2 Itu gak bisa tidur.

Artinya apa?, Kedua-duanya itu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Maka kepada para pejabat, para petinggi, para tokoh-tokoh yang menikmati proses APBD, APBN dan lainnya. 

Dengan kita ber-Ketuhanan maka kita melawan korupsi, itu kira-kira pesan yang disampaikan oleh bakul angringan tadi,” ungkap Eko, bercerita.

Selain itu, Wakil Walikota Yogyakarta, Wawan Harmawan mengapresiasi DPRD DIY yang menyelenggarakan wayang kulit untuk memperingati bulan Bung Karno. Menurutnya, gelaran kegiatan itu sekaligus untuk melestarikan budaya  wayang di masyarakat.

“Saya senang sekali ada kegiatan  wayang kulit yang diadakan DPRD DIY untuk memperingati Bulan Bung Karno. Ini justru nguri-nguri kebudayaan,” ucap Wawan ditemui di sela pagelaran tersebut.

Wawan sependapat dengan DPRD DIY yang menjadikan pertunjukan wayang sebagai media menggelorakan dan pembelajaran Pancasila. 

Wawan berharap, kegiatan tersebut dapat rutin diadakan dan mengajak masyarakat untuk lebih mengenal kebudayaan wayang serta mengamalkan Pancasila dan menjadikan Gedung DPRD DIY sebagai rumah rakyat.

“Pancasila sebagai fondasi kita bernegara, sekarang kita harus mengkampanyekan Pancasila melalui berbagai media termasuk media budaya pada wayang ini. Masih banyak orang hanya menghafalkan Pancasila, tapi bagaimana kita juga dapat menghayati Pancasila dalam kehidupan sehari-hari,” ucap Wawan.(*)

Penulis : Elis

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *