INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Ketua Komisi D DPRD DIY, Dwi Wahyu, menyuarakan kegelisahannya terhadap rendahnya partisipasi pendidikan masyarakat DIY, terutama jenjang kuliah, serta berbagai tantangan yang menyertainya. Mulai dari ketimpangan akses pendidikan, keterbatasan beasiswa, hingga penggunaan data kemiskinan yang tidak akurat sebagai dasar program bantuan.
“Kesenjangan pendidikan di DIY tidak bisa dilepaskan dari faktor kemiskinan. Mengapa ada kesenjangan pendidikan, salah satunya karena kemiskinan. Ketika ada kesenjangan pendidikan karena kemiskinan, maka yang terjadi adalah pernikahan dini.” ungkapnya, Kamis (17/7/2025).
Dwi bahkan menyebutkan data mencengangkan bahwa DIY menempati peringkat kedua nasional dalam kasus pernikahan dini. Menurutnya, ini menjadi indikasi kuat bahwa pendidikan dan kesejahteraan sosial di DIY sedang tidak baik-baik saja.
Kota Pelajar yang Kehilangan Identitas
Sebagai kota yang dikenal sebagai “kota pelajar”, Yogyakarta justru menunjukkan gejala penurunan kualitas dan akses pendidikan.
“Yogyakarta sudah bukan lagi kota pelajar, tapi kota belajar. Kotanya tempat belajar orang-orang luar Jogja. Anak-anak kita justru partisipasi kuliahnya sangat rendah, tidak sampai 15%,” ujarnya.
Dwi menggarisbawahi bahwa rendahnya partisipasi kuliah di kalangan warga lokal DIY bukan hanya disebabkan oleh kemiskinan semata. Ia menyebut perlunya kajian yang lebih dalam terkait faktor penyebabnya.
Sebagai upaya awal, ia mengusulkan program bernama BESTI (Beasiswa Istimewa) yang digagas Dinas Pendidikan dan Kepemudaan, untuk mendeteksi secara dini penyebab rendahnya partisipasi tersebut.
Namun, ia mengkritisi keterbatasan program beasiswa yang ada. “Kuotanya hanya 100 orang, dan itu pun hanya untuk D4, kenapa tidak S1? Dan kenapa hanya dibatasi di UNY dan Universitas Gunung Kidul saja?” tanyanya.
Ia mendorong agar Dikpora dan BPO (Badan Pemuda dan Olahraga) memperluas kerja sama dengan seluruh perguruan tinggi di DIY agar masyarakat punya lebih banyak pilihan kuliah yang sesuai dengan minat dan bakat.
Pendidikan DIY Terjebak Data Kemiskinan yang Tidak Akurat
Dwi juga menyoroti penggunaan data kemiskinan yang menurutnya tidak pernah diperbarui. Ia menyebutkan, “Sekarang kalau ada program, pasti yang dibicarakan itu kantong kemiskinan. Tapi saya rasa, kantong kemiskinan itu tidak pernah update. Banyak wilayah miskin yang tidak masuk data.”
Hal ini menurutnya sangat menyulitkan dalam menyalurkan bantuan secara adil dan tepat sasaran. Ia mencontohkan kasus afirmasi pendidikan yang gagal menjangkau puluhan siswa karena keterlambatan update data dari Dinas Sosial ke sistem Dikpora.
“Data kita selalu tidak pernah update. Kemarin saja 53 siswa gagal masuk program afirmasi karena data dari Dinsos datangnya terlambat,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa pengalaman seperti ini tidak boleh terulang, karena menyandera masa depan anak-anak.
Lebih lanjut, berdasarkan data BPS Maret 2024, pendidikan berada di posisi keempat sebagai penyebab kemiskinan di wilayah perkotaan DIY.
Ironisnya, kota yang diharapkan memiliki akses informasi dan fasilitas lebih baik ternyata justru mencatatkan tingkat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan daerah kabupaten.
Tantangan Guru Honorer dan Kesenjangan Akses
Salah satu permasalahan mendasar lainnya adalah guru honorer yang hingga kini masih banyak digaji oleh komite sekolah karena keterbatasan anggaran dan moratorium rekrutmen dari pemerintah pusat.
Menurut Dwi, hal ini adalah tamparan keras bagi pemerintah. Ia mendorong agar Dana Keistimewaan (Danais) bisa digunakan untuk membantu pendanaan guru honorer, meskipun dengan skema yang tidak melanggar ketentuan belanja pegawai.
“Kalau harus pakai skema upah atau Wiyata Bakti, silakan. Tapi jangan biarkan pendidikan DIY terpuruk karena tidak ada guru,” tegasnya.
Sekolah Rakyat dan Solusi Asrama (Boarding Class)
Terkait program Sekolah Rakyat yang merupakan program pusat dan melibatkan Dinas Sosial, Dikpora, serta Dinas Pekerjaan Umum, Dwi mencatat bahwa hingga kini baru terdapat dua sekolah rakyat di DIY, tanpa petunjuk teknis yang jelas.
Ia mendorong agar Dinas Sosial segera memetakan kebutuhan sekolah rakyat, baik dari sisi lokasi, jumlah, hingga kepemilikan aset.
Ketika aset milik pemerintah tidak mencukupi, ia menyarankan adanya kerja sama dengan yayasan atau sekolah swasta yang sudah bangkrut, agar tidak perlu membangun dari nol.
Dalam jangka panjang, Dwi mendukung agar sekolah rakyat dan sekolah formal lainnya mengadopsi model boarding class (asrama) sebagai bagian dari pembentukan karakter generasi muda.
“Kalau kita ingin membentuk karakter anak didik di era digital ini, salah satu yang bisa menjawab itu adalah boarding class. Karena ada pengawasan 24 jam. Kalau tidak, anak-anak akan terus terpapar digital tanpa kontrol,” jelasnya.
Pendidikan Harus Jadi Prioritas DIY
Menutup pernyataannya, Dwi Wahyu mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk menempatkan pendidikan sebagai program prioritas di DIY, bukan hanya sebagai slogan kota pelajar.
“Kalau DIY masih disebut kota pelajar tapi anak-anaknya sendiri tidak sekolah, itu sindiran. Jangan sampai data yang salah dan sistem yang lambat menyandera masa depan generasi muda kita. Pemerintah harus hadir dengan mitigasi yang kuat, akurat, dan berpihak pada rakyat,” pungkasnya.(*)
Penulis : Elis