INTENS PLUS – JAKARTA. Aksi unjuk rasa yang digelar oleh sebagian pengemudi ojek online (ojol) di kawasan Monumen Nasional (Monas) dan depan Istana Merdeka, Jakarta, hari ini berlangsung relatif sepi dari massa, meski sebelumnya diklaim akan diikuti puluhan ribu peserta.
Aksi bertajuk “Aksi Kebangkitan Jilid II Transportasi Online Nasional 217” ini diinisiasi oleh Garda Indonesia, salah satu asosiasi pengemudi ojek online, dengan tuntutan utama berupa pembentukan regulasi hukum yang mengatur transportasi online serta pembagian komisi 90:10 antara driver dan perusahaan aplikator.
Ketua Umum Garda Indonesia, Raden Igun Wicaksono, dalam pernyataannya menyebut bahwa demo hari ini merupakan bentuk desakan nyata dari para pengemudi di seluruh Indonesia terhadap pemerintah dan perusahaan aplikator yang dinilai abai terhadap kesejahteraan mitra driver.
“Kami menuntut pemerintah segera menerbitkan undang-undang atau Perppu yang secara tegas mengatur hubungan antara aplikator dan driver, karena sampai hari ini driver masih dianggap sebagai mitra tanpa perlindungan hukum yang jelas,” ujar Igun di sela aksi di kawasan Monas.
Menurut Igun, sebanyak 50.000 pengemudi ojol dari berbagai daerah telah menyatakan ikut aksi solidaritas secara langsung maupun dengan melakukan off-bid (tidak menerima order) di wilayah masing-masing.
Mereka datang dari berbagai kota seperti Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Karawang, Bandung, Yogyakarta, Solo, Lampung, hingga Cirebon dan Serang.
Sebagian pengemudi dari luar kota dikabarkan tak dapat hadir langsung karena kendala logistik dan transportasi, tetapi mendukung melalui aksi off-bid di daerah.
Namun di lapangan, jumlah massa yang hadir langsung di Monas tidak mencapai seribu orang. Bahkan sejumlah laporan menyebutkan aksi hanya diikuti puluhan hingga ratusan pengemudi, dan tidak sebanyak klaim awal.
Aparat kepolisian dari Polda Metro Jaya tetap mengerahkan 1.632 personel gabungan untuk pengamanan aksi, guna mengantisipasi kemungkinan gangguan ketertiban.
Aksi ini membawa beberapa tuntutan, yaitu:
- Pembuatan regulasi hukum nasional (UU atau Perppu) untuk transportasi online
- Skema pembagian hasil 90% untuk driver dan 10% untuk aplikator
- Penetapan tarif standar layanan pengiriman barang dan makanan
- Audit independen terhadap perusahaan aplikator, khususnya terkait dana potongan dan distribusi kesejahteraan
- Penghapusan sistem internal seperti slot, Aceng (Auto Cancel Engine), multi-order paksa, dan sistem keanggotaan yang dinilai merugikan driver.
Di sisi lain, sejumlah komunitas driver online menyatakan tidak mendukung demo hari ini. Kelompok seperti Koalisi Ojol Nasional (KON) dan Forum Komunitas Driver Online Indonesia bahkan secara terbuka menyebut bahwa tuntutan komisi 90:10 tidak rasional dan berpotensi merugikan sistem ekonomi digital transportasi.
Ketua KON, Andi Kristiyanto, menyebut bahwa demo ini tidak mewakili mayoritas suara driver.
“Potongan 20 persen oleh aplikator saat ini pun sudah dibagi untuk operasional dan dana kesejahteraan. Kami lebih mendorong audit terhadap dana kesejahteraan driver, bukan memaksa penurunan komisi secara sepihak,” katanya.
Sementara itu, banyak pengemudi di lapangan memilih tetap bekerja seperti biasa.
Di media sosial, sejumlah pengemudi menyatakan keprihatinannya atas narasi-narasi demo yang menurut mereka tidak memperhitungkan kondisi riil dan risiko kehilangan pendapatan harian.
Selain itu, pengamat transportasi digital dari Universitas Indonesia, Dr. Budi Santosa, menilai bahwa demo ini menunjukkan pentingnya regulasi formal dalam industri transportasi daring, tetapi pendekatan yang digunakan seharusnya lebih inklusif.
“Tuntutan akan keadilan sangat valid, tetapi skema seperti 90:10 sebaiknya dikaji terlebih dahulu lewat diskusi tripartit antara pemerintah, aplikator, dan driver. Aksi sepihak tanpa keterlibatan komunitas besar justru berisiko melemahkan perjuangan kolektif,” ujar Budi.(*)
Penulis : Elis