Ekonomi Yogyakarta

Dana Keistimewaan DIY Rp200 Miliar Dipotong, Sejumlah Proyek Ditunda

INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Pemerintah Daerah, Daerah Istimewa Yogyakarta (Pemda DIY) melakukan berbagai penyesuaian anggaran sebagai tindak lanjut atas Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 2025. Namun, sebanyak Rp200 miliar dana keistimewaan resmi dipotong dari APBD DIY, dan belum ada kepastian akan dikembalikan oleh pemerintah pusat.

Meski efisiensi dilakukan di berbagai lini, pemerintah menjamin capaian kinerja dan layanan publik tetap menjadi prioritas. Namun, dalam implementasinya, terdapat realitas pahit: dana keistimewaan (danais) sebesar Rp200 miliar resmi tidak lagi tercantum dalam APBD 2025.

Hal itu disampaikan oleh Kasubid Anggaran Belanja Pemerintahan Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset (BPKA) DIY, Jumiyati, dalam forum terbuka bersama DPRD dan perwakilan perangkat daerah. 

Menurutnya, penyesuaian dilakukan secara selektif agar tidak mengganggu target indikator kinerja. 

“Efisiensi ini hanya menyasar kegiatan seremonial, kajian yang belum mendesak, serta mekanisme kegiatan seperti FGD yang dialihkan dari luring ke hybrid atau daring,” ujarnya. Rabu (23/7/2025).

Jumiyati juga menegaskan, bahwa efisiensi ini merupakan amanat dari Inpres 1/2025 tertanggal 22 Januari 2025, yang diperkuat dengan Surat Edaran (SE) dan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 29/2025. 

Dari efisiensi total sekitar Rp260 miliar, sebanyak Rp200 miliar di antaranya berasal dari dana keistimewaan.

Namun, berbeda dengan anggaran belanja reguler yang masih bisa direalokasi, nasib danais justru lebih kompleks. Paniradya Pati Kaistimewan DIY, Aris Eko Nugroho, mengungkapkan bahwa pemotongan danais sebesar Rp200 miliar membuat sejumlah kegiatan inti di bidang kelembagaan, kebudayaan, tata ruang, dan pertanahan terpaksa dihentikan atau ditunda.

“Dana tersebut hilang dari APBD DIY dan belum bisa dipastikan apakah akan dikembalikan oleh pusat. Untuk kami, sudah resmi dipangkas,” jelas Aris.

  • Pengurangan tersebut berdampak langsung pada berbagai program strategis, seperti:
  • Penanganan sampah Banyuroto (Rp18 miliar) dibatalkan.
  • Pembangunan Jalan Tegal Sari Kelepu (Rp12,5 miliar) ditunda.
  • Pengadaan alat becak listrik ditangguhkan.
  • Seluruh perjalanan dinas luar negeri ditiadakan.
  • BKK Kalurahan untuk padat karya dikurangi dari Rp175 juta menjadi Rp120 juta per titik.
  • Penataan Alun-Alun Wates dan wisata budaya di Keliripan juga ditangguhkan.
  • Aktivitas fisik di Gua Kiskendo dan event budaya seperti muhibah budaya ditiadakan.

Aris menyayangkan kondisi tersebut, karena pengurangan tidak hanya menyasar kegiatan seremonial, tetapi menyentuh program-program utama yang selama ini didanai dari dana keistimewaan. 

“Kami masih berharap angka Rp200 miliar itu bisa kembali lewat lobi ke pemerintah pusat, tapi hingga hari ini dana itu hilang,” terangnya.

Dari sisi perencanaan, Kepala Bidang Perencanaan dan Pengendalian Bapperida DIY, Pratama Wahyu Hidayat, menambahkan bahwa dampak makro dari efisiensi belum sepenuhnya terlihat. 

“Secara makro seperti pertumbuhan ekonomi belum langsung terukur, tapi secara mikro keluhan mulai muncul dari sektor pariwisata dan pelaku UMKM akibat terhentinya aliran dana pusat ke berbagai satuan kerja,” ucapnya.

Pratama juga menyoroti tantangan fiskal yang dihadapi kabupaten-kabupaten dengan kapasitas fiskal rendah seperti Kulon Progo dan Gunungkidul. 

“Dengan kapasitas fiskal rendah, tentu setiap pengurangan anggaran memiliki efek berantai ke masyarakat,” jelasnya.

Sementara itu, dari legislatif, Sekretaris Komisi A DPRD DIY, Syarief Guska Laksana, menekankan pentingnya menguatkan komunikasi politik antara pemerintah daerah dan pusat, termasuk membuka peluang pemanfaatan CSR dari dunia usaha. 

“Kita perlu alternatif sumber pendanaan. CSR bisa jadi solusi. Di Bali misalnya, kantor masyarakat adat dibangun dari dana CSR,” ungkapnya.

Ia menambahkan bahwa DPRD DIY akan terus mendorong OPD menjaga agar program prioritas seperti penanggulangan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur tetap berjalan di tengah tekanan efisiensi.

Wilayah seperti Kulon Progo mengalami dampak paling nyata dari efisiensi ini. Beberapa proyek fisik dan wisata unggulan ditunda, seperti pembangunan landmark Alun-Alun Wates, revitalisasi kawasan Keliripan yang mengandung nilai sejarah tambang mangan, serta konservasi Gua Kiskendo. 

Semua kegiatan itu awalnya ditujukan untuk mendorong ekonomi lokal melalui pariwisata berbasis budaya dan lingkungan.

Syarief menyarankan bahwa pemerintah daerah dapat mengambil langkah alternatif dalam menghadapi tekanan efisiensi anggaran, termasuk dengan memanfaatkan dana swasta atau skema tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).

“Pemda tentunya bisa ambil jalan yang lebih baik, melalui pemanfaatan dana-dana swasta atau CSR untuk pelaksanaan program-program pembangunan, infrastruktur, maupun kebutuhan sosial dan ekonomi di masyarakat,” kata Syarief.

Ia juga mendorong optimalisasi sumber pendanaan non-APBD melalui Badan Keuangan dan Aset Daerah (BKAD), termasuk menjajaki dukungan dari BUMN.

Terkait penyusunan APBD 2026, Syarief mendorong agar ada jalur khusus untuk memperkuat program penanggulangan kemiskinan dan pembangunan infrastruktur yang berbasis pada kemandirian daerah.

“Nuansa keistimewaan ini harus menjadi ciri khas DIY. Dana keistimewaan sebaiknya dikelola optimal untuk empat sektor utama: kelembagaan, kebudayaan, pertanian, dan tata ruang,” lanjutnya. 

Menurutnya, dari sektor-sektor itu lah kekhasan dan daya saing DIY dapat terus ditumbuhkan meski di tengah tekanan anggaran pusat.(*)

Penulis : Elis

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *