INTENS PLUS – SOLO. Kasus dugaan pemalsuan ijazah Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) memasuki babak baru. Kepolisian resmi menyita ijazah asli Jokowi saat pemeriksaan di Polresta Solo pada Selasa dan Rabu, 23 – 24 Juli 2025. Pemeriksaan ini menyusul laporan pencemaran nama baik yang menyeret sejumlah tokoh nasional.
Dalam pemeriksaan yang berlangsung sekitar 3 jam, Presiden Jokowi menjawab 45 pertanyaan dari penyidik terkait riwayat pendidikan dan keabsahan dokumen ijazah dari tingkat SD hingga perguruan tinggi.
“Beliau hadir sebagai pelapor, bukan terlapor. Kami menyerahkan dokumen asli sebagai bentuk komitmen terhadap kebenaran,” kata Yakup Hasibuan, kuasa hukum Presiden, di Mapolresta Solo.
Yakup menjelaskan bahwa ijazah yang disita mencakup dokumen SD, SMP, SMA hingga S1 di Universitas Gadjah Mada (UGM). Semua dokumen merupakan asli, bukan salinan atau legalisir.
“Kami tegaskan ini bukan hanya pembelaan nama baik, tapi juga bentuk pelurusan sejarah dari fitnah yang sudah beredar sejak lama,” lanjut Yakup.
Sementara itu, Polda Metro Jaya telah menerbitkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP) terhadap 12 tokoh yang diduga menyebarkan hoaks terkait ijazah Jokowi. Mereka dilaporkan atas dugaan pencemaran nama baik dan penyebaran informasi palsu.
Beberapa nama yang disebut dalam daftar terlapor yaitu Roy Suryo (eks Menpora), Eggi Sudjana (pengacara), Abraham Samad (eks Ketua KPK), Tifauzia Tyassuma (Dr. Tifa), Jumhur Hidayat dan sejumlah aktivis relawan lainnya.
Menurut sumber di kepolisian, penyidik telah membagi perkara ke dalam lima klaster, tergantung pada jenis peran dan bukti yang dikumpulkan.
“Kami melihat ada indikasi kuat penyebaran informasi palsu yang merusak reputasi presiden. Proses hukum terus berjalan,” ujar seorang penyidik Polda Metro yang enggan disebut namanya.
UGM dan Bareskrim Nyatakan Ijazah Jokowi Asli
Sebelumnya, UGM dan Bareskrim Polri telah menegaskan bahwa ijazah Presiden Jokowi adalah otentik. Hal ini disampaikan dalam gelar perkara khusus yang digelar pada 9 Juli 2025.
“Kami sudah mencocokkan dokumen yang disita dengan arsip di UGM, dan tidak ditemukan kejanggalan apa pun,” kata Dr. Widodo Muktiyo, perwakilan dari UGM.
Bareskrim menyimpulkan bahwa tidak ada unsur pemalsuan, sehingga penyidikan dialihkan ke pelaporan fitnah dan pencemaran nama baik.
Para tokoh yang dilaporkan justru menilai proses hukum ini sebagai upaya kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. Mereka menyebut bahwa yang mereka lakukan adalah bentuk permintaan klarifikasi, bukan penyebaran fitnah.
“Saya tidak menyebar hoaks. Saya hanya mengajukan pertanyaan terbuka. Kalau bertanya saja dianggap pidana, ini bahaya untuk demokrasi,” ujar Roy Suryo, salah satu terlapor.
Dr. Tifa bahkan menggagas Deklarasi Anti-Kriminalisasi, menyebut bahwa tindakan hukum ini bisa menjadi preseden buruk dalam kehidupan demokrasi.(*)
Penulis : Elis