INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Pemerintah Kota Yogyakarta kembali menggelar prosesi budaya Jamasan Pusaka Tombak Kyai Wijaya Mukti pada Kamis pagi (24/7/2025) di Plaza Segoro Amarto, Balai Kota Yogyakarta.
Tradisi yang telah dilaksanakan sejak 25 tahun terakhir ini menjadi salah satu simbol penting dalam pelestarian nilai-nilai budaya Jawa, sekaligus refleksi spiritual dalam praktik pemerintahan Kota Yogyakarta.
Prosesi jamasan atau ritual pembersihan pusaka ini bukan sekadar merawat benda pusaka, tetapi juga menjadi pengingat akan nilai-nilai Manunggaling Kawula Gusti sebuah ajaran Jawa tentang kesatuan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, yang juga menjadi fondasi moral dan spiritual bagi para pemimpin daerah.
Pusaka Sejak 1921, Simbol Pemersatu dan Kemakmuran
Tombak Kyai Wijaya Mukti merupakan pusaka kebesaran yang dibuat pada tahun 1921 pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Pada 7 Juni 2000, pusaka ini diserahkan secara resmi oleh Sri Sultan Hamengku Buwono X kepada Pemerintah Kota Yogyakarta, bertepatan dengan peringatan Hari Jadi ke-53 Pemkot Yogyakarta.
Pusaka ini memiliki panjang sekitar tiga meter, dengan landean dari kayu walikun sepanjang 2,5 meter. Memiliki pamor wos wutah wengkon dan dhapur kudhuping gambir, pusaka ini tidak hanya memiliki keindahan fisik, namun juga nilai filosofis mendalam yang menandai harapan dan kemakmuran bagi Kota Yogyakarta.
Saat ini, Tombak Kyai Wijaya Mukti disemayamkan di ruang kerja Wali Kota Yogyakarta, sebagai simbol kekuatan moral dan pengingat akan amanat rakyat.
“Tombak Kyai Wijaya Mukti memberikan kekuatan bagi kami dalam melayani masyarakat. Tradisi ini adalah bentuk nguri-uri kabudayan melestarikan budaya yang menjadi jati diri kota ini,” ujar Wali Kota Yogyakarta, Hasto Wardoyo, usai memimpin prosesi jamasan. Kamis (24/7/2025).
Ia menegaskan bahwa pemimpin di Yogyakarta harus memiliki sifat kandel, yakni kepercayaan diri dan kekuatan batin dalam melayani rakyat.
“Pemimpin harus tangguh, tidak miar-miur. Harus kekeh, sengkuh, tangguh, dan ramingkuh dalam menjalankan amanah,” tambahnya.
Kepala Dinas Kebudayaan (Kundha Kabudayan) Kota Yogyakarta, Yetti Martanti, menjelaskan bahwa tradisi ini rutin digelar setiap tahun pada bulan Suro, sebagai momentum refleksi dan spiritualitas dalam pemerintahan.
“Jamasan ini bukan sekadar ritual, tapi cerminan dari evaluasi diri pemerintah, apakah kami sudah melayani masyarakat dengan baik? Apakah semangat pengabdian kami tetap terjaga?,” ujar Yetti.
Menurutnya, keberadaan pusaka tersebut juga menyiratkan nilai-nilai etis bagi seluruh aparatur sipil negara (ASN), yakni dedikasi, tanggung jawab, dan integritas yang tidak boleh luntur di tengah dinamika zaman.
Perwakilan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, Victor Mukhammadenis Hidayatullah, turut hadir dan memimpin prosesi siraman pusaka sesuai tata cara siraman tosan aji ala Keraton Yogyakarta.
“Wijaya berarti kemakmuran atau kejayaan, sementara Mukti adalah nyata. Harapannya Kota Yogyakarta menjadi kota yang benar-benar makmur dan warganya merasakan kesejahteraan lahir batin,” jelas Victor.
Ia menekankan bahwa untuk mencapai “mukti”, diperlukan syarat-syarat batiniah, seperti berkata baik, berperilaku santun, serta senantiasa bersedekah dan bersyukur. Hal itu juga tergambar dari uborampe (perlengkapan) dalam prosesi seperti tumpeng, buah hasil bumi (polo), gamelan, dan tembang Jawa.
“Tumpeng itu simbol doa dan sedekah batin. Kami percaya, ketika pusaka disirami dengan niat yang tulus, ada kekuatan spiritual yang menguatkan tekad seluruh elemen kota ini,” imbuhnya.
Rangkaian acara Jamasan Pusaka diikuti oleh seluruh OPD, kemantren, kelurahan, serta berbagai unsur pelestari budaya seperti Paguyuban Paheman Memetri Wesi Aji (Pamerti Wiji), Bergada Segoro Amarto, dan Abdi Dalem Keprajan Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Dalam budaya Jawa, pusaka bukan hanya warisan benda, tapi juga cerminan spiritualitas dan nilai luhur. Keberadaan Tombak Kyai Wijaya Mukti menjadi simbol dari kemenangan sejati (wijoyo-wijayanti), yakni kesejahteraan yang merata di masa depan.
Dengan dhapur kudhuping gambir, tombak ini dimaknai sebagai awal mula mekarnya harapan dan keharuman nama Yogyakarta yang terus tumbuh seiring zaman.(*)
Penulis : Elis