INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Hajatan besar Jogja-NETPAC Asian Film Festival (JAFF) kembali digelar. Pelataran XXI Empire Yogyakarta riuh oleh suara penonton mengiringi penampilan Sal Priadi yang membuka acara pembukaan JAFF edisi ke-18, sabtu (25/11). Tanpa sekat, penonton membaur dengan filmmaker seperti Chicco Kurniawan, Lutesha, Daffa Wardhana, dan Arbani Yasiz.
Deretan nama sineas besar lainnya yang juga menjadi sorotan adalah sutradara Ashish Avinash Bende (Autobio-Pamphlet), produser Saville Chan (A Light Never Goes Out), serta aktor Hui Yuet Sheung dan komposer Chu Wan Pin (In Broad Daylight). Aktris senior Christine Hakim pun turut hadir menerima penghargaan Honorary Award JAFF 2023 atas dedikasinya selama 50 tahun pada sinema Asia.
Ashish Avinash Bende berhasil meraih penghargaan Asia Pacific Young Audience Award 2023 melalui filmnya Autobio-Pamphlet. Film tersebut didapuk pula sebagai film pembuka JAFF edisi ke-18.
“Film saya akan menjadi film pembuka dari festival yang brilian ini, sebuah impian bagi filmmaker pemula. Saya sangat senang berada di sini, duduk bersandingan dengan seorang tokoh film yang telah berkarier di industri film selama 50 tahun, Ibu Christine Hakim,” ucap Ashish Avinash Bende, dalam sambutan pendek sebelum filmnya ditayangkan pada keterangan senin(27/11/2023).
Direktur Kebudayaan Kemendikbudristek RI Hilmar Farid. Menyampaikan JAFF18 membawa semangat sebuah ajakan untuk mengapresiasi setiap karya. Menurutnya karya merupakan sajian yang dihadirkan karena kilau internalnya, bukan karena nama besar pembuatnya atau adanya pengakuan yang sudah terlebih dahulu diberikan.
“Festival dalam konteks ini menjadi ajang untuk memperkaya kita semua melalui pemutaran film, kritik, diskusi, workshop, dan tentunya juga pertemuan informal yang hangat di sela berbagai macam kegiatan,” ucapnya.
Selain itu, Direktur JAFF Ifa Isfansyah mengapresiasi antusiasme pecinta film yang menghadiri pelaksanaan JAFF tahun ini. Dia mengungkap, antrean pembelian tiket bahkan sempat membuat traffic penjualan tersendat.
“Beberapa penayangan bahkan langsung sold out hanya dalam beberapa jam. Hal ini membuat kami merasa semakin yakin bahwa budaya sinema kita akan terus berkembang dan bertumbuh,” ungkapnya.
Sebagai informasi, pemutaran dilakukan secara serentak di lima studio Empire XXI Yogyakarta, yang menjadi venue utama festival. Tahun ini, JAFF18 menghadirkan 205 film dari 25 negara Asia Pasifik yang akan ditayangkan dalam program kompetisi dan non-kompetisi.
Tahun ini, tema yang diusung adalah ‘Luminescence’. Sebagai penegasan atau menggarisbawahi pencapaian sinema Asia yang belakangan menerima berbagai penghargaan dari sejumlah festival film internasional.
Sinema Asia juga terus memendarkan karakter dan keindahannya sendiri ke seluruh penjuru dunia. Antusiasme para pencinta film menyambut JAFF dirasakan semakin bersemangat. Kebutuhan para pembuat film dan pencinta film untuk menikmati film di layar lebar, berdialog dan berjejaring secara langsung, sungguh terasa begitu semarak dan bergairah.
JAFF18 akan dilaksanakan secara luring dan daring selama delapan hari berturut-turut terhitung sejak sabtu (25/11/2023) hingga 2 Desember 2023 dengan Empire XXI yang menjadi lokasi utama selain LPP Yogyakarta, dan KLIKFILM untuk menikmati JAFF18 secara daring.
Jadwal program JAFF18 dan cara membeli tiket dapat ditemukan di akun media sosial resmi @jaffjogja dan situs resmi, jaff-filmfest.org. Tiket dapat dibeli melalui situs resmi jaff-filmfest.org dan TIX.ID
Selain pemutaran, Jogja-NETPAC Asian Film Festival ke-18 juga mengadakan pameran berjudul Intersection: within the spirit of nature, and where we find ourselves. Pameran kolaborasi yang menampilkan konvergensi seni dan instalasi film dalam sebuah pameran yang menyatukan sinema Asia dengan praktik artistik multimedia dari tujuh perupa asal Indonesia, Thailand, Tiongkok, India, Malaysia, dan Singapura yang terlibat dalam lokakarya intensif di hutan Amazon di bawah bimbingan sutradara ternama, Apichatpong Weerasethakul pada Juni 2022.
Melampaui label pameran seni semata, pameran tersebut merupakan ekspedisi kompleksitas alam, yang setiap karyanya memperlihatkan keterhubungan antara manusia dan dunia alam, dengan Amazon sebagai latar belakangnya.(*)
Penulis: Fatimah Purwoko