INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Erupsi Gunung Marapi, Sumatera Barat disebut terjadi secara tiba-tiba pada Minggu (3/12/2023). Padahal, peristiwa tersebut telah merenggut 23 korban jiwa yang semuanya adalah pendaki. Menunjukkan, bahwa prinsip kehati-hatian tidak diterapkan, baik oleh pengelola maupun pendaki.
Eko Teguh Paripurna, Pengamat kebencanaan dari Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta, mengatakan bahwa korban tewas di gunung dengan ketinggian 2.885 meter ini semestinya bisa dicegah. Bila pengelola dan pendaki taat aturan, yaitu tidak mendekati kawah dalam radius tiga kilometer.
“Kalau dilihat ada pendaki yang sampai merapat dekat ke kawah, maka SOP (standard operational procedure) tersebut diabaikan oleh pendaki dan pihak-pihak yang seharusnya memberi peringatan untuk itu,” kata Eko. Jumat(8/12/2023).
Sejatinya, Gunung Marapi telah berstatus Waspada atau level II sejak 2011. Aktivitas erupsi Gunung Marapi sempat meningkat pada 7 Januari 2023. Kala itu, pihak berwenang menutup sementara jalur pendakian. Tapi, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumatra Barat membuka kembali jalur pendakian ke Marapi pada 24 Juli 2023, meski gunung masih berstatus Waspada.
Situasi tersebut, kata Eko Teguh Paripurna, menggambarkan bagaimana prinsip kehati-hatian tidak diterapkan di Marapi. Para pendaki pun tampaknya tidak cukup memahami risiko bencana yang mengintai.
“Saya menilai masing-masing pihak merasa situasinya biasa-biasa saja. BKSDA membuka izin online dengan persyaratan yang kurang memadai. Di sisi lain, pendaki juga merasa biasa naik gunung sehingga tidak perlu berhati-hati,” kata Eko.
PLH BKSDA Sumatera Barat, Dian Indriati, mengatakan pihaknya memberikan izin pendakian Gunung Marapi karena adanya kesepakatan dengan semua pihak terkait. Termasuk pemda.
Selian itu, tidak tercatat aktivitas signifikan pada Gunung Marapi sejak izin pendakian dikeluarkan pada Juli 2023. Mengutip catatan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), tidak ada gempa vulkanik atau erupsi di Marapi selama dua pekan sebelum kejadian.
Terkait diabaikannya rekomendasi jarak aman ini, Dian mengatakan para petugas pendamping di setiap pintu masuk telah memberi arahan kepada para pendaki. Para pendaki juga wajib mendaftar secara daring untuk mendapatkan Surat Izin Memasuki Kawasan Konservasi (Simaksi).
Menurut Dian, pada proses itu juga tertera SOP dan aturan pendakian. Namun dalam pencermati SOP yang dimaksud Dian, tidak tertera secara tegas larangan untuk mendekat pada radius tiga kilometer dari kawah.
BKSDA Sumatera Barat juga memasang papan peringatan untuk tidak mendekati kawah. Selain itu, peringatan bahwa radius tiga kilometer “sangat berbahaya” juga terpasang. Namun peringatan itu kemungkinan diabaikan oleh para pendaki.
“Dengan adanya papan peringatan dan larangan itu sudah semestinya menjadi imbauan bagi mereka. Dan ini selalu disampaikan oleh petugas kami untuk berhati-hati, jaga keselamatan, dan jangan mendekati kawah,” sambung Dian.
Mengutip dari BBC News Indonesia, salah satu korban selamat, Irvanda Mulya, mengaku tidak diperingatkan oleh petugas di posko pendakian bahwa mereka dilarang mendekat dalam radius tiga kilometer dari puncak.
“Enggak ada diperingatkan atau aba-aba gitu,” kata Irvanda. Kendati begitu, tambahnya, dia melihat rambu-rambu jarak aman, imbauan untuk berhati-hati, serta jalur evakuasi jika terjadi erupsi.
Pada Sabtu (02/12) malam, rombongan Irvanda bahkan berkemah di sekitar Tugu Abel, yang jika ditarik garis lurus di peta, hanya berjarak sekitar 600 meter dari kawah.
Tugu Abel sendiri merupakan monumen yang dibangun sebagai peringatan atas tewasnya seorang pendaki bernama Abel Tasman akibat erupsi Marapi pada 5 Juli 1992.(*)
Penulis: Fatimah Purwoko
Edukasi
Yogyakarta
Erupsi Marapi Renggut 23 Jiwa Akibat Tak Terapkan Prinsip Kehati-hatian
- by Redaksi
- 08/12/2023
- 0 Comments
- 2 minutes read
- 187 Views

Berita Terkait ...
