Ekonomi Sorotan Sumut

Sejarah, Penanganan Abai, dan Alasan Penolakan Etnis Rohingya

INTENS PLUS – ACEH. Pengungsi Rohingya jadi perhatian publik beberapa pekan belakangan. Tidak terlepas dari keresahan warga Aceh terhadap eksodus kedatangan pengungsi Rohingya. Hingga pada akhirnya memicu penolakan. Senin(11/12/2023).

Diketahui, etnis Rohingya berasal dari Burma atau yang saat ini dikenal dengan Myanmar. Etnis ini merupakan penduduk minoritas beragama Islam yang bertempat tinggal di Provinsi Arakan, di sisi sebelah barat laut Myanmar. Wilayahnya berbatasan langsung dengan Bangladesh, dan sekarang dikenal dengan provinsi Rakhine atau Rakhaing.  

Etnis Rohingya diperkirakan adalah keturunan campuran (Arab, Moor, Turki, Persia, Mogul dan Pathan), Bengali lokal dan Rakhine. Mereka berbicara versi Chittagonian, dialek regional Bengali yang juga digunakan secara luas di seluruh bagian tenggara Bangladesh.

Sementara mengutip dari Yale Online, konflik Rohingya mulai muncul dari perbedaan agama dan sosial antara penganut Buddha Rakhine dan Muslim Rohingya. Akibat dari selama Perang Dunia II di Burma, Muslim Rohingya bersekutu dengan Inggris yang menjanjikan negara Muslim sebagai imbalannya, dalam perang melawan umat Buddha Rakhine setempat yang bersekutu dengan Jepang. 

Setelah kemerdekaan pada tahun 1948, pemerintah serikat yang baru dibentuk di negara yang mayoritas penduduknya beragama Budha tersebut menolak kewarganegaraan etnis Rohingya. Sehingga menjadikan etnis ini mendapat diskriminasi sistematis yang luas di Myanmar.

Konflik Rohingya terus berlangsung hingga mencapai puncaknya pada 2017. Pada awal Agustus 2017, militer Myanmar melakukan “operasi pembersihan” di Negara Bagian Rakhine bagian utara, sehingga memperburuk krisis kemanusiaan di negara tersebut.

Laporan Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) yang dirilis pada 11 Oktober 2017 merinci, “proses sistematis” militer Myanmar dalam mengusir populasi Rohingya dari negaranya, dilakukan dengan berbagai pelanggaran hak asasi manusia.

Sementara UNHCR melaporkan, per 31 Oktober 2023 menunjukkan 1.296.525 pengungsi Rohingya yang mencari perlindungan tersebar ke sejumlah negara.

Bangladesh menjadi negara paling banyak menampung, yaitu 967.842 orang. Diikuti dengan Malaysia (157.731), Thailand (91.339), India (78.731) dan terakhir Indonesia (882).

Meskipun jumlah yang masuk ke Indonesia melalui Aceh sedikit, tapi dalam satu pekan terakhir gelombang pengungsi Rohingya mengalami peningkatan lebih dari 100% dengan jumlah sekitar 1.000 orang.

Dikutip dari BBC, Direktur Arakan Project yang merupakan lembaga advokasi HAM Rohingya, Chris Lewa menilai “Indonesia bukanlah negara tujuan” bagi pengungsi Rohingya dalam mencari perlindungan.

“Namun Indonesia menjadi tempat transit karena tidak bisa mendarat di Malaysia atau tidak bisa sampai ke Malaysia,” kata Lewa.

Kasus-kasus pengungsi Rohingya yang kabur di Aceh menguatkan pernyataan ini. Pengungsi Rohingya yang berada di Malaysia bahkan mengatakan, bahwa ia ‘berani membayar Rp 20 juta’ untuk mengirim saudara dari Aceh ke Malaysia.

Secara umum, komunitas Rohingya di Malaysia juga lebih banyak dan mereka bisa bekerja walaupun secara gelap.

Namun, belakangan ini, situasi keamanan makin memburuk di kamp Cox’s Bazar, membuat pengungsi Rohingya memprioritaskan mencari keselamatan. Indonesia pun mereka harapkan bisa menjadi tempat perlindungan.

Sementara itu, Pemerintah Malaysia menyatakan tidak lagi menerima pengungsi Rohingya dalam beberapa tahun terakhir, dan ditegaskan kembali pada 2020 lalu.

Di sisi lain, jumlah pengungsi internal Rohingya di Myanmar sejauh ini sebanyak 2 juta jiwa, dan yang kembali ke negara itu dari pengungsian negara lain sebanyak 89.402 jiwa.

Lantas mengapa warga Aceh turut menolak kedatangan pengungsi Rohingya?

Laporan dari CCNIndonesia.com, salah seorang warga Aceh bernama Abdullah alias Wak Dollah geram terhadap penanganan pengungsi Rohingya yang dilakukan oleh lembaga PBB seperti UNHCR dan IOM. Menurutnya, lembaga tersebut abai hingga hari ini.

“Coba lihat ada tidak orang UNHCR di situ (lokasi pengungsi) atau siapalah yang jaga, coba lihat ada gak?,” kata Wak Dollah, Jumat malam (8/12/2023) di depan pintu masuk Dermaga CT 1 Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS).

Wak Dollah merupakan sosok tetua di wilayah Kecamatan Suka Karya, Sabang. Dia ikut serta dalam aksi warga menolak pengungsi Rohingya yang pecah pada Rabu (6/12/2023).

Bukan tanpa alasan, warga menolak pengungsi rohingya karena memiliki sifat yang tak menghargai penduduk lokal dan berperilaku buruk.

Tabiat buruk itu misalnya terlihat saat pengungsi rohingya pada gelombang pertama dipindahkan ke Lhokseumawe. Saat menaiki kapal penumpang menuju Banda Aceh dari Sabang, banyak kotoran yang ditinggalkan di kapal.

Puncak kemarahan warga berlanjut saat aroma bau yang menyebar dari lokasi penampungan Dermaga CT 1 Badan Pengusahaan Kawasan Sabang (BPKS) ke lokasi objek wisata Tugu Merah Putih dan pusat kuliner yang lokasinya memang bersebelahan, hanya dibatasi tembok saja.

Bau itu berasal dari pengungsi Rohingya yang suka buang air besar sembarangan di lokasi penampungan. Namun, kini sudah disediakan 6 unit toilet portable dan dua tangki air.

“Lokasi ini kan objek wisata dan kuliner, jadi selain warga, wisatawan ke sini itu juga jadi risih, karena bau tadi,”katanya.

“Apalagi ini mau libur Natal dan Tahun Baru, dipastikan wisatawan itu banyak,” ujar Wak Dollah.

Berdasar penelusuran Redaksi Intens Plus, media sosial UNHCR pun kini dibatasi. Warganet hanya dapat melihat dan menyukai unggahan mereka di Instagram. Sementara kolom komentar telah dibatasi. Namun terlihat, kolom komentar yang sempat dibanjiri hujatan dari warganet Indonesia yang geram akibat UNHCR yang dinilai abai dalam menangani pengungsi Rohingya.(*)

Penulis: Fatimah Purwoko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *