Opini Yogyakarta

OPINI: Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Serta Pendampingan Menuju Kemandirian

INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Pemberdayaan Masyarakat berbeda strategi dan pelaksanaannya dibandingkan dengan pendidikan formal di sekolah dan universitas. Pemberdayaan adalah proses pendidikan yang diikuti dengan pendampingan agar masyarakat menuju kemandirian.

Dosen Fakultas Pertanian Universitas Pembangunan Nasional (UPN) “Veteran” Yogyakarta, Muhamad Kundarto, menjelaskan bahwa tahap awal dalam pemberdayaan masyarakat adalah pengenalan dari tidak tahu menjadi tahu. Proses ini lebih banyak memperkenalkan berbagai ilmu dan pengetahuan yang tepat dan bisa digunakan.

“Ada yang mudah mengerti, ada pula yang sulit menerima. Kondisi masyarakat sangat dipengaruhi oleh faktor eksternal, yang bisa kondusif ataupun kontradiktif dengan misi transfer ilmu pengetahuan,” jelasnya.

Tahap kedua adalah peningkatan pemahaman, sehingga masyarakat bisa mempraktekkan karena paham apa dan mengapa hal itu dilakukan. Mereka bukan robot, tapi bisa praktek secara kreatif dan inovatif disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik budaya lokal.

Tahap ketiga adalah pendampingan pada masyarakat yang akan dan sedang mempraktekkan ilmu pengetahuan sesuai dinamika lokal. Satu tempat dengan tempat lain bisa berbeda metode, bahan dan hasil akhirnya.

“Kita harus memahami esensi dasar dan memaklumi dinamika hasil antar lokasi. Kadang ada kesamaan berdasarkan tipologi wilayah seperti desa, kota, pesisir, gunung, dan lain-lain. Tapi kadang akan berbeda sama sekali,” ujarnya.

Pemberdayaan masyarakat di wonosobo | Foto : Ist

Tahap keempat adalah mendorong replikasi ilmu pengetahuan dengan model TOT (Training of Trainer). Filosofinya, upaya pemberdayaan tak mungkin bisa mewarnai semua wilayah, maka butuh kader-kader bagus untuk melanjutkan estafet sesuai visi dan misi.

“Pada tahapan ini, seorang guru jangan kaget jika menghadapi fakta bahwa murid-muridnya ingin menjadi seperti gurunya. Bahkan ada murid yang bisa berkembang lebih baik dari gurunya,” sebutnya.

Tahapan itu, kata Kundarto, penuh pertimbangan ‘rasa’, yaitu sikap murid yang diharapkan selalu hormat pada gurunya walau dia bisa melesat lebih tinggi. Begitu juga sang guru harus berbangga pada prestasi muridnya, tanpa merasa tersaingi.

“Empat tahapan di atas perlu pengawalan dan penyelarasan seiring waktu. Ada saatnya kita di depan. Ada saatnya kita tersenyum dan memilih di belakang layar. Sambil kita belajar mengamati roda kehidupan ini yang hakekatnya adalah ‘homo homini lupus’ atau kehidupan ini adalah persaingan,” jabar Kundarto.

“Orang yang kreatif dan inovatif akan terbukti sukses menyesuaikan perkembangan zaman,” imbuhnya menegaskan.

Kundarto bilang, ukuran kesuksesan terkadang sangat subyektif dan dinamis. Ada yang menganggap kekayaan jadi ukuran. Ada pula berdasarkan kebahagiaan. Ada yang senang karena meraih jabatan.

“Apapun itu tergantung pada diri masing-masing, karena syukur itu hakekatnya bukan pada ‘apa yang diraih’ tapi berterima kasih atas apapun pemberian dari-Nya dengan landasan kesabaran dan keikhlasan,” tandasnya.(*)

Penulis : Muhamad Kundarto/Fatimah Purwoko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *