INTENS PLUS – JAKARTA. Gelombang penolakan kenaikan PPN terus membesar. Petisi berisi penolakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen bahkan menembus 188 ribu tanda tangan per Selasa (24/12/2024) pagi pukul 13.42 WIB.
Bareng Warga membuat petisi sejak 19 Desember 2024 karena menganggap PPN 12 persen menyulitkan rakyat. Dia pun mengingatkan daya beli masyarakat sedang buruk.
Bareng Warga menjelaskan, melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 Tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (PPN), mulai 1 Januari 2025 Pemerintah akan menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%. Sebelumnya, atau kira-kira dua tahun lalu Pemerintah sudah pernah menaikan PPN. Dari yang tadinya 10% naik ke angka 11%.
“Rencana menaikan kembali PPN merupakan kebijakan yang akan memperdalam kesulitan masyarakat. Sebab harga berbagai jenis barang kebutuhan, seperti sabun mandi hingga Bahan Bakar Minyak (BBM) akan naik. Padahal keadaan ekonomi masyarakat belum juga hinggap di posisi yang baik,” tertulis dalam keterangan petisi, dikutip Selasa.
Membahas soal pengangguran terbuka misalnya, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per Agustus 2024, angkanya masih sekitar 4,91 juta orang. Kemudian dari 144,64 juta orang yang bekerja, sebagian besar atau 57,94% bekerja di sektor informal. Jumlahnya mencapai 83,83 juta orang.
“Urusan pendapatan atau upah kita juga masih terdapat masalah. Masih dari data BPS per Bulan Agustus, sejak tahun 2020 rata-rata upah pekerja semakin mepet dengan rata-rata Upah Minimum Provinsi (UMP). Trennya sempat naik di tahun 2022, namun kembali menurun di tahun 2023. Tahun ini selisihnya hanya 154 ribu rupiah,” tertulis dalam petisi.
Masalahnya UMP, sebut Bareng Warga, sebagai acuan pendapatan yang layak pun patut diragukan. Contohnya di Jakarta, untuk hidup di kota metropolitan tersebut, catatan BPS tahun 2022 menunjukan dibutuhkan uang sekitar 14 juta rupiah setiap bulannya. Sedangkan UMP Jakarta di tahun 2024 saja hanya 5,06 juta rupiah.
“Apa lagi dari fakta yang ada masih banyak pekerja yang diberi upah lebih kecil dari UMP,” cecarnya.
Naiknya PPN, menurutnya juga akan membuat harga barang ikut naik sangat mempengaruhi daya beli.
Dia juga bilang, sejak bulan Mei 2024 daya beli masyarakat terus merosot. Kalau PPN terus dipaksakan naik, niscaya daya beli bukan lagi merosot, melainkan terjun bebas.
“Atas dasar itu, rasa-rasanya Pemerintah perlu membatalkan kenaikan PPN yang tercantum dalam UU HPP. Sebelum luka masyarakat kian menganga. Sebelum tunggakan pinjaman online membesar dan menyebar ke mana-mana,” tandasnya.
Sebelumnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani mengklaim kebijakan kenaikan PPN ini bersifat selektif dan hanya menyasar barang dan jasa kategori mewah atau premium.
Sejumlah barang mewah yang ia maksud di antaranya beras premium; buah-buahan premium; daging premium (wagyu, daging kobe); ikan mahal (salmon premium, tuna premium); udang dan crustacea premium (king crab); jasa pendidikan premium; jasa pelayanan kesehatan medis premium; dan listrik pelanggan rumah tangga 3500-6600 VA.
Namun, kenyataannya PPN 12 persen tak hanya menyasar barang-barang mewah. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) memastikan tarif PPN 12 persen berlaku untuk seluruh barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11 persen.
Artinya, kenaikan PPN menjadi 12 persen akan berlaku untuk barang dan jasa yang biasa dibeli masyarakat mulai dari sabun mandi, pulsa, hingga langganan video streaming seperti Netflix. (*)
Penulis: Fatimah Purwoko
Ekonomi
Headline
Gelombang Petisi Tolak Kenaikan PPN 12 Persen Membesar
- by Fatimah Purwoko
- 24/12/2024
- 0 Comments
- 2 minutes read
- 133 Views

Berita Terkait ...
