INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Program Sekolah Rakyat (SR) yang digagas sebagai solusi pendidikan inklusif berbasis asrama untuk keluarga prasejahtera di Yogyakarta tengah menghadapi tantangan adaptasi sosial. Sejak awal Juli 2025, tercatat sebanyak 29 siswa mengundurkan diri dari dua Sekolah Rakyat di wilayah tersebut.
Fenomena ini menjadi perhatian serius Dinas Sosial DIY yang langsung mengevaluasi proses orientasi dan komunikasi antara pihak sekolah, orangtua, dan peserta didik.
Kepala Dinas Sosial DIY, Endang Patmintarsih, menyatakan bahwa sistem boarding school yang diterapkan di Sekolah Rakyat membutuhkan kesiapan lebih dari anak dan keluarga.
Ia menekankan bahwa keputusan untuk bergabung dengan Sekolah Rakyat tidak bisa didasarkan hanya pada dorongan orangtua atau sekadar faktor ekonomi.
“Semangat dari orangtua saja tidak cukup. Anak pun harus siap. Kalau tidak, anak jadi tidak betah, orangtua pun merasa khawatir. Padahal sistemnya tinggal di asrama. Ini harus menjadi keputusan bersama sejak awal,” ujar Endang, dikutip Jumat (18/7/2025).
Menurut data Dinsos, sebanyak 26 siswa lebih dulu mundur di tahap awal masa orientasi, disusul 3 siswa lainnya beberapa hari kemudian, sehingga total mencapai 29 siswa yang memutuskan keluar dari dua sekolah yang baru dibuka tersebut.
Dua sekolah yang dimaksud adalah Sekolah Rakyat Menengah 20 di Purwomartani, Sleman, dan Sekolah Rakyat Menengah 19 di Sonosewu, Bantul. Masing-masing sekolah menampung 75 siswa dari berbagai latar belakang ekonomi dan sosial.
Alasan Mundur: Adaptasi Sosial dan Rindu Lingkungan Lama
Endang menjelaskan bahwa alasan utama pengunduran diri para siswa bukan karena sistem pembelajaran atau fasilitas, tetapi karena rasa tidak siap secara psikologis, terutama dalam hal meninggalkan lingkungan sosial lama dan teman sebaya.
“Ada anak yang bilang, ‘Saya kangen sekolah biasa’, ‘Saya nggak bisa main’, ‘Saya kangen teman-teman saya’. Ini menunjukkan perlunya edukasi menyeluruh kepada masyarakat, terutama keluarga, tentang apa itu sekolah rakyat dan seperti apa sistemnya,” tambahnya.
Menurutnya, perubahan lingkungan dari sekolah umum ke sekolah berasrama memang bukan hal mudah. Anak-anak harus beradaptasi dengan rutinitas baru, interaksi intensif dengan teman baru, dan tinggal jauh dari rumah.
Sekolah Tetap Jalan, Evaluasi Terus Dilakukan
Meski mengalami pengunduran diri siswa, Dinsos DIY memastikan bahwa kedua Sekolah Rakyat telah kembali terisi penuh dan proses belajar-mengajar berjalan sesuai rencana.
Pemerintah daerah juga tengah menyiapkan skema edukasi dan pendampingan lanjutan agar masyarakat lebih memahami sistem SR, terutama sebelum pendaftaran angkatan berikutnya.
Endang berharap ke depan, sebelum anak didaftarkan, ada diskusi terbuka di dalam keluarga, sehingga keputusan bergabung ke SR benar-benar berdasarkan komitmen bersama, bukan karena paksaan atau dorongan sesaat.
“Kita ingin program ini berhasil, karena ini program mulia yang mengutamakan mereka yang secara ekonomi sulit, tapi punya potensi akademik tinggi. Tapi kalau tanpa kesiapan mental, justru akan berat bagi anak-anak itu sendiri,” tegasnya.
Program Sekolah Rakyat merupakan bagian dari upaya Pemerintah Daerah dan pemerintah pusat untuk membuka akses pendidikan yang layak bagi anak-anak dari keluarga tidak mampu.
Dengan pendekatan berasrama, siswa diberikan fasilitas pendidikan, makan, dan tempat tinggal secara gratis, namun tentu dengan harapan bahwa siswa siap mengikuti pembinaan dan pembelajaran intensif di dalamnya.(*)
Penulis : Elis