INTENS PLUS – JAKARTA. Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu memerintahkan perluasan serangan militer besar-besaran ke Gaza City, langkah yang langsung menuai kecaman dari berbagai negara dan organisasi internasional.
Operasi ini difokuskan pada distrik Sabra, Zeitoun, dan Shuja’iyya, yang disebut Israel sebagai benteng terakhir Hamas.
Netanyahu menyebut ofensif ini sebagai bagian dari upaya “mengakhiri perang dengan cepat” melalui penghancuran penuh infrastruktur militer Hamas di wilayah perkotaan.
Ia juga menegaskan Israel tidak berniat menduduki Gaza secara permanen, tetapi akan membentuk zona keamanan di dalam wilayah tersebut.
Meski begitu, banyak pihak menilai rencana tersebut sama saja dengan penguasaan militer de facto yang berpotensi mengakibatkan pengosongan paksa kawasan padat penduduk.
Para analis juga mengingatkan bahwa langkah ini akan memperparah penderitaan warga sipil yang telah lebih dari satu setengah tahun terjebak dalam perang.
Laporan terbaru Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) menggambarkan situasi di Gaza sebagai “kelaparan, murni dan sederhana”.
Sejak Oktober 2023, lebih dari 98 anak meninggal akibat malnutrisi akut, dengan 37 kematian terjadi sejak Juli 2025.
Data otoritas kesehatan Gaza menyebut total korban tewas telah melampaui 61.430 orang dan lebih dari 153.213 terluka. Sebagian besar korban adalah warga sipil, termasuk perempuan dan anak-anak.
PBB juga melaporkan bahwa infrastruktur vital seperti rumah sakit, jaringan air, dan listrik mengalami kerusakan parah. Beberapa fasilitas medis kini hanya beroperasi sebagian atau bahkan berhenti total akibat kekurangan bahan bakar dan obat-obatan.
Serangan ke Jurnalis dan Infrastruktur Sipil
Salah satu serangan berada di tenda jurnalis dekat kompleks Rumah Sakit Al-Shifa menewaskan sejumlah jurnalis, termasuk dua koresponden Al Jazeera yang bernama Anas al-Sharif dan Mohammed Qreqeh, bersama kamerawan Ibrahim Zaher, Mohammed Noufal, dan Moamen Aliwa. Israel menuduh al-Sharif merupakan anggota Hamas, tuduhan tersebut dibantah keras oleh Al Jazeera dan organisasi pers dunia.
Komite Perlindungan Jurnalis (CPJ) menyatakan bahwa tewasnya jurnalis di Gaza merupakan ancaman serius terhadap kebebasan pers dan menghambat peliputan perang yang transparan.
Redaktur pelaksana Al Jazeera, Mohamed Moawad, meyakinkan bahwa al-Sharif merupakan seorang jurnalis terakreditasi yang menjadi “satu-satunya suara” agar dunia mengetahui apa yang terjadi di Jalur Gaza.
Selama perang berkecamuk, Israel tidak mengizinkan para jurnalis internasional masuk ke Jalur Gaza untuk meliput secara bebas.
Oleh karena itu, banyak media mengandalkan wartawan-wartawan lokal di wilayah tersebut untuk peliputan mereka.
“Mereka menjadi target di tenda mereka, mereka tidak meliput dari garis depan. Faktanya, pemerintah Israel ingin membungkam saluran pelaporan apa pun dari dalam wilayah Gaza,” ujar Moawad.
Kecaman Internasional
Rencana perluasan serangan Netanyahu menuai kritik dari berbagai pihak. Presiden Prancis Emmanuel Macron menyerukan pengiriman pasukan penjaga perdamaian PBB ke Gaza untuk menghentikan eskalasi.
Beberapa negara Eropa, termasuk Jerman dan Spanyol, mendesak Israel untuk menghentikan serangan yang dinilai sebagai bentuk hukuman kolektif terhadap warga Gaza.
Dewan Keamanan PBB dijadwalkan menggelar sidang darurat guna membahas rencana Israel mengambil alih kontrol penuh Gaza City.
Di tengah meningkatnya kekerasan, pemerintah Indonesia mengumumkan rencana menyediakan fasilitas medis di Pulau Galang, Kepulauan Riau, untuk merawat sekitar 2.000 warga Gaza yang terluka.
Pemerintah menegaskan bahwa bantuan ini bersifat sementara dan bukan relokasi permanen, sekaligus menegaskan dukungan penuh pada solusi dua negara.
Langkah memperluas serangan ke Gaza City berpotensi memicu perpindahan massal ribuan keluarga yang sudah menjadi pengungsi internal. Situasi ini dapat menghambat distribusi bantuan kemanusiaan dan meningkatkan risiko kematian akibat kelaparan, penyakit, serta minimnya layanan kesehatan.
Dengan situasi yang terus memanas, Gaza kini berada di tengah krisis ganda juga gempuran militer yang kian intensif dan bencana kemanusiaan yang semakin dalam.(*)
Penulis : Elis