Headline Jabodetabek

Polemik Dana Mengendap Pemda: Purbaya dan Tito Buka Data, Sejumlah Gubernur Buka Suara

INTENS PLUS – JAKARTA. Polemik dana mengendap milik pemerintah daerah (Pemda) menjadi sorotan publik setelah Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Purbaya Yudhi Sadewa mengungkap bahwa terdapat dana sebesar Rp234 triliun yang masih tersimpan di rekening perbankan hingga akhir September 2025. 

Pernyataan itu memicu reaksi berantai dari kalangan kepala daerah, yang menilai angka tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi riil keuangan di Daerah.

“Kita menemukan ada dana besar yang belum dibelanjakan oleh pemda. Berdasarkan data yang dikumpulkan dari sistem perbankan, simpanan pemerintah daerah di Bank umum hingga triwulan III tahun ini mencapai Rp234 triliun, naik dari posisi Rp216 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Kalau ini bisa digerakkan, dampaknya terhadap ekonomi daerah akan signifikan,” kata Purbaya dikutip, Jumat (24/10/2025).

Menanggapi pernyataan tersebut, Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian menegaskan bahwa data dana mengendap harus dilihat secara hati-hati. Menurutnya, angka yang disampaikan oleh lembaga keuangan kerap tidak sepenuhnya sejalan dengan laporan realisasi anggaran Daerah yang tercatat dalam sistemnya.

“Kita perlu hati-hati. Dana yang disebut ‘mengendap’ bisa saja sudah teralokasikan untuk kegiatan yang masih dalam proses pelaksanaan. Jadi tidak semua berarti tidak dibelanjakan,” ujar Tito dalam keterangannya di Jakarta, Jumat (18/10/2025).

Tito menjelaskan, perbedaan angka juga bisa muncul karena sistem pelaporan yang berbeda antara Bank Indonesia (BI), Kementerian Keuangan, dan Kemendagri.

Ia menyebut, berdasarkan data Kemendagri per akhir September, posisi kas daerah di seluruh Indonesia tercatat Rp216 triliun, atau selisih sekitar Rp18 triliun dari data yang diungkap oleh LPS.

“Kami sudah cek silang. Angka Rp234 triliun itu bisa jadi termasuk dana yang belum sempat disesuaikan dalam sistem perbankan atau mencakup kas yang sedang bergerak,” jelasnya.

Dalam bahan itu terungkap bahwa ada 15 pemda yang memiliki dana simpanan besar, sebagaimana berikut ini:

  1. Provinsi DKI Jakarta Rp 14,6 triliun
  2. Provinsi Jawa Timur Rp 6,8 triliun
  3. Kota Banjarbaru Rp 5,1 triliun
  4. Provinsi Kalimantan Utara Rp 4,7 triliun
  5. Provinsi Jawa Barat Rp 4,1 triliun
  6. Kabupaten Bojonegoro Rp 3,6 triliun
  7. Kabupaten Kutai Barat Rp 3,2 triliun
  8. Provinsi Sumatera Utara Rp 3,1 triliun
  9. Kabupaten Kepulauan Talaud Rp 2,6 triliun
  10. Kabupaten Mimika Rp 2,4 triliun
  11. Kabupaten Badung Rp 2,2 triliun
  12. Kabupaten Tanah Bumbu Rp 2,11 triliun
  13. Provinsi Bangka Belitung Rp 2,10 triliun
  14. Provinsi Jawa Tengah Rp 1,9 triliun
  15. Kabupaten Balangan Rp 1,8 triliun

Sejumlah Kepala Daerah kemudian turut memberikan klarifikasi, Mereka mengungkapkan bahwa dana kas yang masih tersimpan di bank bukanlah bentuk kelalaian, melainkan bagian dari siklus pengelolaan keuangan yang bergantung pada waktu pelaksanaan program dan tender proyek.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi yang bersuara melalui akun instagramnya. Ia mengaku tak menemukan kecocokan data dana Pemprov Jabar yang mengendap dengan yang dilaporkan kepada dirinya oleh para stafnya. Menurut Dedi, nominal kas Pemda Jabar yang tertera saat ini hanya senilai Rp 2,38 triliun dalam bentuk giro bukan senilai Rp 4,1 triliun.

“Di kasnya tidak ada sertifikat deposito Rp 4,1 triliun. Jadi kalau ada yang menyatakan ada uang Rp 4,1 triliun yang tersimpan dalam bentuk deposito serahin datanya ke saya, soalnya saya bolak balik ke bjb ngumpulin staf marahin staf ternyata tidak ada di dokumen,” kata Dedi melalui akun instagram @dedimulyadi71 memaparkan data yang sebelumnya terungkap dalam paparan Mendagri Tito Karnavia saat Rapat Koordinasi Pengendalian Inflasi Daerah 2025, Senin (21/10/2025).

Dedi menegaskan, yang ada saat ini, kas Pemda Jabar hanya senilai Rp 2,38 triliun dalam bentuk giro. Ia bahkan sampai datang langsung ke BI dan Kemendagri untuk melihat data saldo mengendap sesungguhnya.

Dari data Rp 4,17 triliun yang dikonfirmasi ke BI, dia mengungkapkan data simpanan pemerintah provinsi hanya mencapai Rp 3,8 triliun dalam bentuk giro. Sisanya dideposito Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) dan ini menjadi kewenangan BLUD masing-masing.

Dari simpanan Pemprov Rp 3,8 triliun, dia menuturkan tidak ada yang mengendap. Uang tersebut dipakai untuk membayar semua kebutuhan operasional pemerintah daerah dan pembayaran proyek.

“Jadi uang yang diendapkan itu tidak ada karena uangnya Rp 3,8 triliun hari ini sudah dipakai untuk bayar proyek, gaji pegawai, belanja perjalanan dinas, belanja bayar listrik, bayar air, belanja para pegawai outsourcing,” tulis Dedi.

Gubernur Sumatera Utara (Gubsu), Bobby Nasution juga ikut membantah data dana simpanan Pemda yang berasal dari BI itu. Ia mengatakan, saldo kas Pemprov di Bank Sumut hanya senilai Rp 990 miliar, bukan Rp 3,1 triliun.

“Rekening Kas Uang Daerah (RKUD) kita cuma satu ya, itu Bank Sumut, hari ini saldonya di sana ada Rp 990 miliar,” kata Bobby Nasution di Kantor Gubsu pada, Selasa (21/10/2025).

“Nanti coba apakah kami salah input atau seperti apa yang disampaikan Pak Menteri Rp 3,1 triliun nanti akan kita lihat lagi, namun di hari ini di rekening silahkan dicek itu terbuka, RKUD kita Rp 990 miliar,” imbuhnya.

Selain itu, Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung mengakui data dana mengendap Pemda di Bank sebagaimana yang telah diungkap oleh Purbaya dan Tito Karnavian.

“Seperti yang disampaikan Pak Purbaya, memang ada dana Rp 14,6 triliun yang dimiliki Pemda DKI di Bank Jakarta. Itu betul, bukan 100%, tapi 1.000% benar,” kata Pramono.

Ia menjelaskan, alasan dana tengah tahun masih tinggi di perbankan karena pengeluaran anggaran di DKI cenderung meningkat pada kuartal terakhir setiap tahun karena ada pembayaran proyek pembangunan dan kegiatan layanan publik yang rampung pada November-Desember.

Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekda DKI Jakarta, Suharini Eliawati menjelaskan, dana Pemda mengendap di perbankan, memang efek pola belanja yang cenderung terkonsentrasi dan mengalami lonjakan pembayaran saat kuartal terakhir terakhir setiap tahun.

Penumpukan dana ini bukan dimaksudkan oleh intensi Pemprov DKI untuk mendapatkan keuntungan dari imbalan bunga.

“Hal ini berkaitan dengan pola belanja Pemda, termasuk Pemprov DKI, yang mengalami akselerasi pembayaran pada triwulan terakhir,” kata Suharini yang biasa disapa Eli pada siaran pers Pemprov DKI Jakarta.

Sekdaprov Jatim, Adhy Karyono juga mengakui data dana mengendap yang disampaikan pemerintah pusat dengan posisi kas Daerah Pemprov Jatim per 22 Oktober 2025 di bank tidak ada perbedaan. 

Namun, ia hanya mendetailkan besaran kas senilai Rp 6,2 triliun itu terdiri dari deposito sebesar 3,6 triliun dan giro sebesar Rp 2,62 triliun.

“Dana kas Pemprov Jatim yang tersimpan banyak di Bank sebesar Rp 6,2 triliun berasal dari Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) tahun 2024 sebesar Rp 4,6 triliun,” ungkapnya.

“SILPA Tahun 2024 sebesar Rp 4,6 triliun itu baru bisa dialokasikan setelah audit BPK dan Perda Pertanggungjawaban APBD 2024 disetujui dengan mekanisme melalui Perubahan APBD 2025 di Triwulan IV bulan Oktober sampai Desember yang dibahas di DPRD dan wajib melalui evaluasi Kemendagri,” tambah Adhy kepada dikutip dari detik, Kamis (23/10/2025).

“Jadi dari Rp 6,2 triliun, yang dari SILPA Rp 4,6 triliun dan sisanya sebesar Rp 1,6 triliun itu dana cashflow untuk operasional pemerintahan,” lanjutnya.

Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung juga masuk ke dalam daftar 15 besar dana mengendap di bank ikut buka suara. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Badung, Ketut Wisuda menegaskan anggaran daerah yang mereka kelola tidak mengendap di perbankan.

“Uang itu bukan mengendap, tetapi sudah dalam proses SPD (Surat Penyediaan Dana) ke kegiatan SKPD (Satuan Kerja Perangkat Daerah) namun belum SPJ (Surat Pertanggungjawaban),” ujar Wisuda dalam keterangannya di Puspem Badung, sebagaimana dilansir Detik, Rabu (22/10/2025).

“Dan itu untuk keperluan pembayaran gaji dan tunjangan pegawai, belanja operasional perangkat daerah, serta pembiayaan kegiatan pembangunan yang saat ini sedang berjalan,” tambahnya.

Wisuda mengatakan sejumlah program strategis Pemkab Badung saat ini tengah memasuki tahap pelaksanaan fisik maupun administrasi keuangan. Berbagai program tersebut termasuk di bidang infrastruktur, pelayanan publik, maupun dukungan ekonomi masyarakat.

Ia menekankan proses pencairan anggaran akan dilakukan secara bertahap sesuai ketentuan dan prinsip tata kelola keuangan Daerah. 

“Kami pastikan seluruh kegiatan berjalan, dan serapan anggaran akan meningkat signifikan pada triwulan keempat,” kata Wisuda.

Wakil Gubernur Jawa Timur (Jatim), Emil Elestianto Dardak, siap membuka secara transparan alasan di balik dana milik Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jatim sebesar Rp6,84 triliun mengendap di perbankan.

Emil menilai ini justru momentum tepat bagi pemda untuk menjelaskan kepada publik penyebab terjadinya Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SiLPA). Ia mendorong seluruh pemda di Jatim bersikap terbuka agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.

“Saya minta pemprov, pemda buka-bukaan aja. SiLPA-nya tuh karena apa? Lebih baik begitu daripada publik nanti berpikir bahwa pemerintah ini mengabaikan pembayar pajak,” kata Emil di Surabaya, Kamis (23/10).

Menurut Emil, setiap daerah memiliki alasan tersendiri terkait munculnya SiLPA. Salah satu penyebabnya adalah keterlambatan transfer dana dari pusat yang baru turun di akhir tahun anggaran.

“Karena daerah juga kadang punya alasannya sendiri. Misalnya, ‘Pak, SiLPA tuh karena dananya datang di akhir tahun’, sedangkan aturan keuangan daerah itu tidak seperti keuangan pusat. Dana yang keluar di akhir tahun baru bisa dianggarkan di perubahan APBD. Jadi di APBD murninya kesannya Silpa,” sebutnya.

“Daripada menjadi debat kusir, mending dibuka. Kalau memang kita salah, akui salah sehingga ada perbaikan. Lebih baik begitu kan?” imbuhnya.

Ketua DPD Demokrat Jatim tersebut, menjelaskan besarnya anggaran dana mengendap di Provinsi Jatim, terakumulasi dari seluruh kabupaten dan kota di wilayahnya yang berjumlah 38 daerah.

“Kenapa Jawa Timur besar, 38 kabupaten kota. Itu angka se-Jawa Timur. Termasuk bupati, wali kotanya kan. Makanya semua ayo dibuka gitu biar semua juga tahu kenapa kok anggaran apakah betul tidak terserap atau ada perubahan pendapatan di ujung tahun yang kemudian akhirnya hanya bisa dicatat sebagai SilPA,” ungkapnya.

Selanjutnya Anggota Komisi II DPR RI, Muhammad Khozin, berencana memanggil Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) dan sejumlah Pemda, untuk meminta klarifikasi terkait dana publik yang mengendap di perbankan hingga mencapai Rp 234 triliun. 

“Perlu dipanggil untuk klarifikasi kepada Kemendagri terkait dengan pengawasan dan pembinaan terhadap pemda, sekaligus memanggil pemda yang dananya banyak diparkir di bank,” kata Khozin, dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/10/2025). 

Khozin menegaskan, perlu ada penjelasan terbuka dari pihak pemda mengenai alasan dana tersebut belum digunakan. Sebab, dana yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan masyarakat tak sepatutnya hanya “terparkir” di bank.

“Pemda mesti mengklarifikasi atas mengendapnya dana publik ratusan triliun itu. Dana tersebut sengaja ditempatkan di bank atau disimpan karena mengikuti pola belanja yang meningkat di akhir tahun?” ujar Khozin. 

Politikus PKB itu mengingatkan, jika dana APBD sengaja diparkir di bank, hal itu dapat mengganggu pelayanan publik dan pelaksanaan program strategis nasional di daerah. 

“Kalau dana APBD sengaja diparkir, ini yang jadi soal, karena akan mengganggu pelayanan publik dan menjadi penghambat tumbuhnya ekonomi di daerah,” kata Khozin. 

Di sisi lain, Khozin mendorong adanya perubahan pola belanja baik di pusat maupun daerah, jika dana tersebut tersimpan karena siklus penyerapan anggaran yang meningkat. 

“Tren penyerapan anggaran meningkat di akhir tahun ini terjadi di pusat dan daerah. Menkeu Purbaya mestinya dapat mengubah pola klasik ini, tujuannya agar anggaran negara betul-betul dimanfaatkan untuk publik secara berkesinambungan,” ucapnya. 

Khozin pun turut mempertanyakan efektivitas pengawasan Kemendagri terhadap tata kelola keuangan daerah. Dia meminta Kemendagri tidak hanya melakukan pembinaan, tetapi juga memberikan sanksi administratif jika ditemukan pelanggaran. 

Menurutnya, sejumlah regulasi dapat menjadi dasar bagi pemerintah pusat dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan pemerintahan daerah. 

Ia menegaskan, Kemendagri mestinya dapat mengoptimalkan pengawasan dan pembinaan, termasuk mengambil langkah tegas berupa sanksi administratif bila terdapat pelanggaran peraturan.

“Pasal 68 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemda, PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pengawasan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, dan PP 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah,” paparnya.(*)

Penulis : Elis

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *