Politik Yogyakarta

Orasi Amnesty International: Kami Sulit Menerima Logika Hukum MK

INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Amnesty International kecewa atas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024. Bahkan, mereka turut dalam aksi yang digelar di depan gedung KPU DIY, Rabu, (24/4/2024).

“Kami tentu saja sangat kecewa dengan putusan MK seperti juga banyak disuarakan oleh guru besar. Kami sulit menerima dengan logika hukum bahwa MK tidak mengakui adanya praktik nepotisme dalam Pemilu 2024. Padahal nepotisme itu nyata,” ujar Usman Hamid, Direktur Amnesty International.

Mengutip Kamus Britnnica, Usman bilang, bila ada tindakan negara atau pemerintah yang menguntungkan keluarga atau kerabatnya maka dapat disebut nepotisme. Menurutnya, praktik nepotisme ini terjadi dalam pelaksaan Pilpres 2024.

“Karena itu saya menghormati tiga hakim yang mangakui adanya nepotisme bahkan mengakui adanya kecurangan. Kalau kita lihat kecurangannya, sebenernya bukan pada soal kalkulasi hasil pemilu. Tapi pada proses sebelum pemilu berlangsung,” lontarnya.

Kata Usman, kecurangan Pemilu 2024 terjadi sejak adanya perubahan aturan syarat minimal umur presiden dan wakil presiden yang terjadi saat pemilu sudah berjalan. Kedua, terjadinya penyalahgunaan sumber daya negara.

“Presiden menggunakan bantuan sosial (bansos) yang seolah datang dari dirinya. Dan itu diperkuat oleh menteri-menteri yang berkampanye untuk kemenangan anaknya presiden, keponakannya MK, dan bansos yang dipolitisasi,” ucapnya.

Penyalahgunaan lainnya, sebut Usman, adalah pengerahan aparat keamanan yanh berperan tidak netral. Bahkan sejumlah guru besar mengaku mereka telah diintimidasi oleh aparat keamanan, khususnya kepolisian.

“Bahkan mereka diminta melakukan tindakan yang sebaliknya memuji pemerintah,” ungkapnya.

“Saya tidak paham, kenapa mayoritas hakim di MK termasuk Suhartoyo yang semula diharapkan bisa mengikuti pandangan para guru besar ternyata justru berpandangan berbeda,” imbuhnya.

Usman mengatakan, pihaknya lebih setuju dengan sidang pandangan masyarakat seperti pandangan guru besar yang menyatakan bahwa Pemilu yang aturannya diubah ketika tahapan sudah berjalan, adalah tindakan yang terlarang dan tindakan umum demokratis.

Kedua, presiden dinyatakan melanggar konstitusi karena melakukan cawe-cawe sejak sebelum, saat, dan setelah Pemilu.

Ketiga, presiden dipandang gagal menegakkan pemilu yang adil karena presiden mendukung nepotisme.

“Dan banyak lagi sidang pendapat rakyat, termasuk mencabut Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023. Dengan demikian menganulir keputusan KPU. Tapi kita tahu KPU terus jalan dengan mengukuhkan peresmian kemenangan Prabowo-Gibran,” cecarnya.

“Sekali lagi ini bukan kritik dari peserta yang kalah Pemilu. Saya kira kita masuk masa kedaruratan demokrasi yang sangat genting. Saya khawatir, ini bukan yang terburuk, saya khawatir masih akan ada peristiwa-peristiwa politik yang bukan hanya membuat demokrasi sekarat tapi juga membunuh demokrasi itu sendiri,” lanjutnya.(*)

Penulis : Fatimah Purwoko/Elis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *