Headline News

DPR RI Diam-diam Revisi Pasal Kontroversial Ancam Kebebasan Pers

INTENS PLUS – JAKARTA. DPR RI diam-diam merevisi Undang-Undang (UU) Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Revisi ini dinilai kontroversial karena mencakup pasal yang dapat mengancam kebebasan pers dalam penyiaran konvensional TV dan radio, serta digital.

Beberapa poin yang menuai protes dari kalangan jurnalis dan masyarakat adalah:

Pertama, termuat larangan penayangan eksklusif konten investigasi. Dalam draf revisi pasal 50B ayat dua disebutkan adanya larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

“Selain memuat panduan kelayakan isi siaran dan konten siaran, Standar Isi Siaran (SIS) memuat larangan mengenai penayangan eksklusif jurnalistik investigasi,” demikian isi pasal tersebut. Minggu(26/5/2024).

Kedua, termuat draf revisi yang membungkam kebebasan pers pada pasal 50B ayat dua huruf k. Ketua Umum Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Herik Kurniawan, menilai bahwa pasal 50B ayat dua tersebut memiliki banyak tafsir, terlebih adanya pasal penghinaan dan pencemaran nama baik. IJTI memandang bahwa pasal yang ambigu ini berpotensi menjadi alat kekuasaan untuk membungkam dan mengkriminalisasi jurnalis.

Ketiga, yang menjadi keberatan dari organisasi jurnalis televisi adalah draf revisi pasal 42 ayat 2 dan pasal 25 huruf q. Di sana disebutkan bahwa penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran dilakukan oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).

IJTI memandang bahwa penyelesaian sengketa jurnalistik penyiaran di KPI berpotensi mengintervensi kerja-kerja jurnalistik yang profesional. Mengingat KPI adalah lembaga yang dibentuk melalui keputusan politis di DPR.

Keempat, RUU akan ditetapkan sebagai usul inisiatif DPR RI. Sebelumnya, Komisi I DPR RI telah mengirimkan draf revisi UU Penyiaran kepada Badan Legislasi (Baleg) DPR untuk dilakukan harmonisasi dan sinkronisasi. Selanjutnya, jika disetujui, RUU tersebut akan dibawa ke rapat paripurna DPR untuk ditetapkan sebagai RUU usul inisiatif DPR RI.

Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI, Supratman Andi Agtas, menyampaikan bahwa ada beberapa aspek yang perlu dipertimbangkan untuk penyempurnaan revisi UU tentang Penyiaran yang diusulkan Komisi I DPR RI. Menurutnya, revisi UU tersebut tidak memiliki masalah dan sudah sesuai dengan prinsip-prinsip yang tercantum dalam undang-undang pembentukan peraturan perundang-undangan.

Sementara itu, pakar hukum tata negara, Mahfud MD mengaku mendengar kabar bahwa pasal yang mengatur larangan penayangan hasil jurnalisme investigasi pada RUU Penyiaran adalah ‘usul selundupan’.

Mahfud pun menduga pasal yang berpotensi melarang produk investigasi itu diselundupkan oleh orang dalam di parlemen.

“Saya mendengar itu kayaknya ada yang menyelundupkan ketentuan tentang investigasi, karena anggota DPR sendiri banyak bilang saya enggak tahu kalau ada isinya, tapi siapa yang menyelundupkan, pasti kan masuknya lewat orang dalam juga. Nanti kita benarkan itu, kita bongkar onderdilnya kaya apa sebenarnya UU penyiaran itu seharusnya dipertebal,” kata Mahfud usai jadi pembicara di UII, Sleman, DIY, Rabu (23/5/2024).

Reaksi keras menolak revisi UU Penyiaran No 32 Tahun 2002 datang dari berbagai kalangan. Dewan Pers dengan tegas menolak revisi Undang-undang Penyiaran Nomor 32 Tahun 2002 karena tanggung jawab penyelesaian sengketa jurnalistik dialihkan ke Komisi Penyiaran Indonesia.

Ketua Dewan Pers Ninik Rahayu dalam konferensi pers menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa pers itu akan ditangani oleh lembaga yang sebenarnya tidak memiliki mandat untuk menyelesaikan masalah etik jurnalistik. Selain itu, Ninik juga sempat menjelaskan bahwa dalam Undang-undang Pers Nomor 40 Tahun 1999, sangat jelas disebutkan bahwa sengketa pers ditangani oleh Dewan Pers.

Kemudian, penolakan Dewan Pers juga didasarkan pada adanya pasal yang melarang penayangan karya jurnalistik investigasi. Penolakan ini juga terkait dengan proses revisi UU Penyiaran yang dinilai melanggar aturan karena tidak melibatkan insan pers dan masyarakat secara luas.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia pun menolak revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2022 Tentang Penyiaran yang sedang diajukan di DPR RI. Bayu Wardhana selaku Pengurus Nasional AJI Indonesia mengatakan bahwa AJI menolaknya karena banyak ketentuan yang problematik. Jika dipaksakan, tentunya akan menimbulkan berbagai masalah. 

Selain itu, Bayu Wardhana juga menyarankan bahwa jika revisi UU tersebut diperlukan, sebaiknya dilakukan oleh anggota DPR di masa mendatang daripada mereka yang menjabat saat ini. Alasannya, karena waktu yang tersisa hanya beberapa bulan lagi, dan membutuhkan diskusi yang lebih mendalam. Bayu mengutip beberapa pasal yang dianggap dapat menghambat kebebasan pers di Indonesia, termasuk pasal 56 ayat 2 poin c, yang melarang penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Lebih lanjut, dia juga sempat menyebut bahwa ada potensi tumpang tindih kewenangan dalam penyelesaian sengketa jurnalistik antara Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers. Ini terlihat pada pasal 25 ayat q yang menangani sengketa khusus di bidang penyiaran, dan pasal 127 ayat 2 yang menetapkan penyelesaian sengketa terkait kegiatan jurnalistik penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) sesuai dengan regulasi yang berlaku.

Aksi penolakan terhadap draf revisi UU Penyiaran pun dilakukan dengan berbagai cara. Salah satunya, demonstrasi oleh ratusan wartawan yang tergabung dalam Koalisi Jurnalis Gorontalo. Mereka menggelar aksi demonstrasi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Penyiaran, pada Sabtu (25/5/2024).

Aksi yang dimulai dari depan rumah dinas gubernur Gorontalo dengan aksi simbolis mengusung keranda putih yang melambangkan matinya kebebasan pers. Ratusan wartawan mengarak keranda tersebut sepanjang Jalan Nani Wartabone Kota Gorontalo hingga Bundaran Tugu Saronde.

Menanggapi reaksi publik, Menteri Komunikasi dan Informatika Budi Arie Setiadi, ikut mengkritik larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi yang tercantum dalam draf Revisi UU Penyiaran Nomor 32 Tahun 2022. Menurutnya, pembatasan tersebut tidak sesuai dengan prinsip perkembangan jurnalisme yang dinamis.

Dalam pembahasan di DPR RI, draf Revisi UU Penyiaran menimbulkan perdebatan terutama terkait larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi.

Pasal 56 ayat 2, selain memberikan pedoman tentang kelayakan isi siaran dan konten, Standar Isi Siaran (SIS) juga mencantumkan berbagai larangan, termasuk penayangan eksklusif jurnalistik investigasi, materi terkait narkotika, alkohol, perjudian, rokok, kekerasan, elemen mistis, perilaku LGBTQ, pengobatan alternatif, serta beberapa larangan lainnya.(*)

Penulis : Fatimah Purwoko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *