Headline Sumut

Garap Tanah Ulayat, Sorbatua Siallagan Dihukum Penjara 2 Tahun

INTENS PLUS – MEDAN. Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun, Sumatra Utara, menjatuhkan hukuman penjara selama dua tahun penjara dan denda Rp1 miliar pada Ketua Komunitas Adat, Ompu Umbak Siallagan atau Sorbatua Siallagan.

Sorbatua didakwa atas tuduhan pengerusakan dan penguasaan lahan di Huta Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kabupaten Simalungun yang izin konsesinya dipegang PT Toba Pulp Lestari.

Dalam pertimbangan hukumnya, Ketua Majelis hakim Dessy Ginting, mengatakan bahwa klaim tanah ulayat sebagaimana yang dijelaskan Sorbatua “tidak terbukti berdasarkan keterangan resmi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan”.

Sementara untuk mendudukkan perkara ini, hakim menilai harus ada legal formal sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan.

“Menimbang bahwa status tanah ulayat yang dimohonkan masih sebatas usulan,” ujar Hakim Dessy. Senin (19/8/2024).

“Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Sorbatua Siallagan dengan pidana penjara selama dua tahun dan denda sebesar Rp1 miliar dengan ketentuan apabila tidak dibayar maka diganti dengan kurungan selama enam bulan,” Dessy melanjutkan.

Sebelumnya masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan di Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara, menuntut pembebasan tetua mereka, Sorbatua Siallagan, yang ditangkap polisi pada 22 Maret 2024. Kakek berusia 65 tahun itu mendekam di sel tahanan Polda Sumatra Utara.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Tano Batak menduga penangkapan Sorbatua adalah bentuk “kriminalisasi” di tengah perjuangan masyarakat atas tanah adat mereka. “Cara-cara ini selalu dipakai oleh perusahaan menggunakan institusi kepolisian supaya menghalau, agar masyarakat adat berhenti berjuang untuk tanahnya,” kata Hengky Manalu dari AMAN Tano Batak.

Sorbatua hanyalah satu dari puluhan orang dari berbagai komunitas adat di sekitar Danau Toba yang pernah diperiksa sebagai saksi, ditetapkan sebagai tersangka, hingga divonis penjara imbas konflik lahan di wilayah sekitar operasional PT TPL.

Dalam menangani kasus-kasus ini pun, Hengky menuding penegak hukum tidak mempertimbangkan perspektif masyarakat adat. Itu diperburuk oleh nihilnya pengakuan pemerintah atas hak tanah masyarakat adat.

Masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan sendiri disebut telah beratus-ratus tahun mendiami wilayah itu. Sementara itu, PT TPL baru mendapat izin konsesi di area ini pada tahun 1983. “Kalau cara ini tidak kami protes dan tidak kami suarakan, akan banyak masyarakat adat yang menjadi korban,” kata Hengky.

Ketika dikonfirmasi, juru bicara PT TPL, Salomo Sitohang, menyebut kasus Sorbatua sebagai “tindakan kriminal murni”. Salomo menyatakan komunitas adat Ompu Umbak Siallagan tidak pernah mengajukan klaim tanah adat melalui skema perhutanan sosial kepada perusahaan. Polisi juga mengutarakan hal senada.

“Sorbatua tidak memiliki dasar atau hak apapun dalam mengerjakan atau menduduki kawasan hutan yang merupakan areal konsesi milik PT TPL,” kata Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi.

Menurut polisi, Sorbatua dan komunitasnya “menguasai lahan milik PT TPL seluas kurang lebih 162 hektare”. Namun terlepas dari kasus hukum yang menjerat kakeknya, cucu dari Sorbatua, Veronika Siallagan, mengatakan “tidak akan berhenti berjuang” untuk mempertahankan tanah adat mereka dari aktivitas perusahaan yang jaraknya kian dekat ke kampung. “Dari bibir kampung jaraknya hanya 300 meter, dari gereja kami tidak sampai 300 meter. Wajar kami pertahankan, itu tanah nenek moyang kami,” kata Veronika kepada BBC News Indonesia.

Sorbatua Siallagan adalah ketua dari masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan yang aktif memperjuangkan hak atas tanah dan hutan di Kampung Dolok Parmonangan, Nagori Pondok Buluh, Kecamatan Dolok Panribuan, Kabupaten Simalungun, Sumatra Utara. Dia disebut aktif mengikuti berbagai pertemuan dan aksi protes menuntut penyelesaian konflik tanah antara PT TPL dan masyarakat. Bagi Veronika, kakeknya ini adalah panutan masyarakat dalam perjuangan mereka.

“Beliau lah ketua kami, opung kami. Beliau selalu semangat, terus mengarahkan anak cucunya. Dialah guru kami, panutan kami,” kata Veronika. Sehari-hari, Sorbatua bersama masyarakat di kampung ini mengelola hutan yang mereka yakini sebagai hutan adat dengan cara menanam sayuran dan buah-buahan. Hasil tanam itulah yang menjadi sumber penghidupan mereka.

Menurut catatan AMAN Tano Batak, mereka adalah keturunan Raja Ompu Umbak Siallagan yang telah menempati wilayah ini sejak tahun 1700-an. Masyarakat yang kini mendiami wilayah ini merupakan generasi ke-11. Selama turun-temurun, mereka memiliki hukum adat sendiri dalam mengelola hutan lindung atau dalam bahasa mereka disebut sebagai Tombak Raja.

Hukum adat itu mencakup bahwa kayu yang ada di dalam Tombak Raja tidak boleh dijual. Kayu dari Tombak Raja hanya boleh diambil untuk mendirikan rumah di Kampung Dolok Parmonangan. Itupun hanya boleh dua pokok kayu, dan sebagai gantinya harus ditanam kembali 20 pokok bibit kayu.

Setelah Indonesia merdeka, sebagian kawasan hutan masyarakat Ompu Umbak Siallagan berfungsi sebagai hutan lindung. “Masyarakat merasa keberatan karena kuburan leluhur Ompu Umbak Siallagan masuk dalam kawasan hutan yang diklaim sepihak oleh pemerintah,” kata Lasron Sinuran dari AMAN ketika ditemui di Jakarta pada Kamis (28/3/2024).

Kemudian pada 1983, pemerintah memberikan izin konsesi kepada PT Toba Pulp Lestari –yang dulunya bernama PT Inti Indorayon Utama— untuk menggarap hutan industri di sekitar wilayah ini. Secara keseluruhan, PT TPL mengelola 184.486 hektare hutan industri. AMAN menyatakan sebanyak 500 hektare dari total 815 hektare wilayah Kampung Dolok Parmonangan masuk ke dalam wilayah konsesi perusahaan. “Masuknya perusahaan tidak pernah mendapat persetujuan dari komunitas masyarakat adat Ompu Umbak Siallagan,” jelas Lasron.

Ditangkap karena PT TPL melaporkan Sorbatua pada 16 Juni 2023 atas tuduhan “pengrusakan, penebangan pohon eukaliptus, dan pembakaran lahan yang ditanami perusahaan”. Dari kaca mata perusahaan, Sorbatua dan masyarakat di Dompu dinilai “tidak berhak” berkegiatan di wilayah itu karena merupakan bagian dari area konsesi perusahaan.

Juru bicara PT TPL, Salomo Sitohang, mengatakan komunitas Ompu Umbak Siallagan “tidak pernah ada” dalam daftar klaim tanah adat yang diajukan masyarakat. “Sampai saat ini TPL hanya menerima 10 klaim tanah adat dan sudah diselesaikan dengan Kemitraan Pola Perhutanan Sosial. Dari daftar 10 klaim tanah adat dimaksud, nama Ompu Umbak Siallagan tidak pernah ada,” tutur Salomo kepada wartawan Apriadi yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

“Apabila ada klaim, masyarakat bisa mengajukan sesuai dengan prosedur yang berlaku dan TPL sangat menghormati prosedur dan ketentuan yg berlaku terkait masyarakat adat,” sambungnya.

Oleh sebab itu, Salomo mengatakan kasus ini adalah “tindakan kriminal murni yang dilakukan individu” dan perusahaan “menghormati proses hukum yang berjalan”. Klaim perusahaan itu dikritik oleh AMAN yang menilai “tidak semestinya masyarakat yang hadir lebih dulu harus meminta-minta hak mereka kepada perusahaan”.

Namun terlepas dari perspektif masyarakat adat, polisi tetap memproses kasus itu. Kepala Bidang Humas Polda Sumatra Utara, Komisaris Besar Hadi Wahyudi, mengatakan pihaknya telah melayangkan surat panggilan pemeriksaan kepada Sorbatua sebanyak dua kali, namun dia tidak menghadiri panggilan itu

Polisi kemudian menangkap Sorbatua pada Jumat (22/3/2024) dan mengeklaim telah memperlihatkan surat perintah penangkapan. Namun menurut AMAN dan Aliansi Gerak Tutup TPL, polisi tidak menunjukkan surat perintah penangkapan. Sorbatua disebut sedang pergi membeli pupuk bersama istrinya ketika penangkapan itu terjadi.

“Penangkapannya itu dengan cara paksa dan tanpa menunjukkan surat perintah penangkapan. Jadi proses hukum tersangka sampai ditahan sekarang bermasalah,” kata Judianto Simanjuntak dari Aliansi Gerak Tutup TPL.

Penangkapan ini turut memicu aksi protes dari masyarakat adat, aktivis, dan mahasiswa. Mereka telah menggelar tiga kali aksi di depan Polda Sumatra Utara menuntut pembebasan Sorbatua. Veronika termasuk salah satu yang ikut aksi.

“Kami akan terus berjuang sampai bisa bertemu dengan opung, kalau bisa dilepaskan lah dengan penangguhan penahanan,” kata Veronika.

Dia mengaku khawatir dengan kondisi kesehatan kakeknya yang sudah tua.

Sementara itu di Jakarta, Lasron Sinuran dari AMAN bersama sejumlah perwakilan Aliansi Gerak Tutup TPL mendatangi Badan Reserse Kriminal Polri pada Kamis (28/03) untuk audiensi dengan kepolisian demi pembebasan Sorbatua.

Namun dari audiensi itu, belum ada jaminan apa pun dari polisi untuk setidaknya penahanan Sorbatua bisa ditangguhkan. Dia juga menuding bahwa kasus ini adalah bentuk “intimidasi” dan “kriminalisasi” terhadap masyarakat. Polisi juga dituding “lebih berpihak pada perusahaan”.

“Kasus ini hanya pemantik sekaligus mengintimidasi komunitas adat lainnya supaya takut. Mereka ini adalah komunitas-komunitas masyarakat adat yang bersentuhan langsung wilayah adatnya, yang diklaim oleh negara dan diberikan izin kepada TPL,” kata Lasron dari AMAN.

Namun Polda Sumatra Utara membantah tudingan itu dengan mengeklaim bahwa “proses yang dilakukan sudah sesuai prosedur”. Mengenai tuntutan pembebasan Sorbatua, Hadi meminta masyarakat menempuh “cara-cara hukum yang baik”.

“Semua ada mekanismenya, mekanisme praperadilan, pengaduan masyarakat, penangguhan penahanan. Semua itu ada proses hukumnya. Polisi tidak menutup ruang itu karena ada aturannya, tapi jangan menempuh cara-cara jalanan yang pada akhirnya menimpulkan keresahan masyarakat,” kata Hadi.(*)

Penulis : Fatimah Purwoko

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *