INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Sekretaris Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (FH UGM), Hasrul Halili, menyampaikan bahwa kondisi pemberantasan korupsi saat ini begitu mengkhawatirkan. Apalagi dengan kondisi KPK yang tidak lagi ideal.
“Mestinya, KPK menjadi institusi cabang keempat di luar trias politika, yang berperan sebagai penegak hukum di bidang antikorupsi,” ujarnya dalam diskusi publik dengan tema “KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi”. Kamis (11/7/2024).
Hasruk bilang, KPK dilahirkan untuk menjawab ketidakpercayaan publik terhadap institusi kepolisian dan kejaksaan. Secara historis, berdirinya KPK merupakan respon struktural terhadap korupsi yang merupakan kejahatan luar biasa. KPK dibangun dengan semangat mirip dengan Independent Commission Against Corruption (ICAC) Hong Kong dimana dirancang sebagai agen tunggal dalam pemberantasan korupsi yang bebas dari pengaruh cabang kekuasaan manapun.
“Namun, kondisi KPK saat ini jauh dari harapan,” cecarnya.
Hasrul mengatakan, kewenangan KPK justru dipangkas melalui revisi Undang-Undang (UU) KPK. Regulasi baru KPK, yakni UU No 19/2019 menempatkan KPK berada di bawah rumpun eksekutif dan pegawainya berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Posisi KPK di rumpun eksekutif sesungguhnya merupakan pertanda hilangnya mahkota independensi.
Hal tersebut sejalan dengan hasil penilaian kinerja KPK dalam Anti-Corruption Agency (ACA) Assessment 2023 yang dipaparkan oleh Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko. Hasil studi mereka menemukan bahwa mayoritas dari 50 indikator yang terbagi dalam enam dimensi pengukuran mengalami penurunan signifikan apabila dibandingkan dengan kinerja KPK sebelum revisi UU.
Tingkat penurunan terbesar terjadi pada dimensi Independensi yang mengalami penurunan sebesar 55% (dari 83% di tahun 2019 menjadi 28% di tahun 2023), lalu dimensi Penindakan yang mengalami penurunan sebesar 22% (dari 83% di tahun 2019 menjadi 61% di tahun 2023), dan dimensi Kerja Sama Antar Lembaga yang mengalami penurunan sebesar 25% (dari 83% di tahun 2019 menjadi 58% di tahun 2023). Ketiga dimensi lainnya yaitu Sumber Daya Manusia dan Anggaran; Akuntabilitas dan Integritas; serta Pencegahan juga mengalami penurunan.
“Situasi ini mengakibatkan kinerja KPK pasca revisi UU mengalami degradasi signifikan, baik dilihat dari rendahnya tingkat kepercayaan publik maupun legitimasi moral dengan maraknya pelanggaran etik hingga status tersangka yang disematkan pada mantan Ketua KPK, Firli Bahuri serta kasus pungutan liar di rutan KPK yang melibatkan 90 lebih pegawai KPK,” sebutnya.
Melihat situasi tersebut, Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, Zainal Arifin Moctar menyebutkan bahwa sangat pesimis agenda pemberantasan korupsi kedepan dapat berjalan dengan baik.
Variabel penting seperti mengembalikan independensi KPK, memperbaiki undang-undang tindak pidana korupsi, hingga penguatan faktor lain yang berkaitan dengan komitmen pemberantasan korupsi sama sekali tidak muncul dari Presiden terpilih. Meskipun demikian, momentum proses pemilihan pimpinan KPK yang saat ini sedang berjalan bisa saja menjadi kesempatan kecil yang dapat dimanfaatkan untuk mendorong perbaikan KPK.
Direktur Caksana Institute, Wasingatu Zakiyah menekankan pentingnya partisipasi publik dalam pemberantasan korupsi. Publik perlu memberi tekanan kepada pemerintah agar menjalankan agenda pemberantasan korupsi. Publik juga perlu ikut mengawasi proses pemilihan pimpinan KPK. Mencegah kursi kepemimpinan KPK diisi oleh orang-orang yang bermasalah titipan para penguasa. Zaki juga menyampaikan pentingnya upaya publik terus mengawal independensi penegakan hukum tindak pidana korupsi agar jangan sampai menjadi alat politik kekuasaan.(*)
Penulis : Fatimah Purwoko
Sorotan
Yogyakarta
Mengkhawatirkan, KPK Tak Lagi Ideal Berantasan Korupsi
- by Redaksi
- 11/07/2024
- 0 Comments
- 2 minutes read
- 185 Views

Berita Terkait ...
