INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Aliansi Kelompok Penambang Progo (KPP) mendesak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DIY) juga Gubernur DIY untuk memberikan pelayanan izin masyarakat sekitar tambang.
Agar aktivitas penambangan rakyat dapat diakui secara hukum dan memperoleh kepastian perizinan.
Hal ini sesuai dengan aturan Pemerintah melalui Perintah Presiden Republik Indonesia untuk memberikan pelayanan izin cepat terhadap usaha rakyat apalagi yang menyangkut ekonomi rakyat kecil
“Pemerintah Provinsi DIY, DPRD DİY jangan membuat Perda atau Pergub yang isinya berlawanan dan tidak sinkron dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia,” kata Yunianto Ketua KPP Yogyakarta dikutup. Kamis(17/4/2025).
Ia mengungkapkan, penambang rakyat Kali Progo diperlakukan tidak manusiawi dengan menghilangkan alat kerja penambang rakyat,
Sesuai dengan Undang-undang Minerba dan Peraturan Pemerintah turunannya.
“Jika Pemda masih ingin mendapat legitimasi atau pengakuan istimewa dari rakyatnya, maka seluruh jajaran harus mengabdi dan melayani rakyat dengan baik,” pintanya
Dia berharap, DPRD DİY harus punya keberanian untuk menghentikan proses penetapan palung sungai di Kali Progo yang disebabkan sedimen atau endapan erupsi Merapi tahun 2010.
Dan berubah menjadi hamparan lumpur dan ditanami tanaman hijau oleh warga sekitar, untuk tidak dijadikan atau disertifikatkan menjadi tanah Sultan Ground. karena justru endapan atau sedimen itu harus diangkat untuk mengembalikan fungsi sungai.
Yunianto menyebut, jika endapan atau sedimen itu tidak diangkat atau istilahnya dinormalisasi maka aliran sungai akan menjadi liar.
“Seingat kami dari jaman Sri Sultan Hamengku Buwono IX, beliau tidak pernah mengutak atik lahan sepanjang Kali Progo apalagi mengklaim sebagai tanah Sultan Ground. Sri Sultan Hamengku Buwono IX sangat bijaksana,” ujarnya.
“Beliau melihat dan tidak mempermasalahkan lahan di palung Sungai Progo dipakai untuk rakyat sepanjang Kali Progo mencari rejeki. Mohon siapapun penguasa Kraton Yogyakarta mengikuti kebijakan Ngarsa Dalem Sinuwun Sri Sultan Hamengku Buwono IX agar tahta untuk rakyat benar-benar dirasakan oleh rakyat Mataram ini,” imbuhnya.
Yunianto berharap, aspirasi ia sampaikan dapat menjadi penghubung untuk bersinergi dengan seluruh pemangku kepentingan, terutama yang berkaitan dengan pertambangan dan perizinannya.
Perwakilan KPP lainnya, Bambang, menambahkan bahwa perjuangan penambang rakyat bukan hanya untuk legalitas alat, tetapi juga untuk mendapatkan status resmi sebagai bagian dari pertambangan nasional.
Ketua Komisi C, Nur Subiyantoro, menegaskan bahwa DPRD DIY memiliki tanggung jawab untuk mendengarkan dan memperjuangkan aspirasi rakyat kecil, namun tetap berada dalam koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Kami akan rencanakan Kunjungan Dalam Daerah (KDD) ke lokasi KPP untuk melihat langsung dan mendengarkan langsung pihak terkait,” ucap Nur Subiyantoro.
Disampaikan bahwa aturan yang berlaku saat ini, yaitu Keputusan Dirjen Pengairan No. 176 Tahun 1987, dengan tegas melarang penggunaan mesin dalam pertambangan rakyat di sungai.
DPMPTSP DIY menjelaskan bahwa proses perizinan dilakukan melalui sistem OSS (Online Single Submission) dengan syarat-syarat yang mencakup aspek administrasi, teknis, lingkungan, dan finansial.
Semua permohonan akan diproses setelah mendapat rekomendasi teknis dari OPD terkait seperti ESDM, DPTR, dan BBWSO.
DLH DIY juga menjelaskan dinamika perizinan lingkungan yang sempat terhambat akibat perubahan regulasi dari pusat, seperti Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 dan UU Cipta Kerja. Namun, setelah keluarnya Perpres No. 55 Tahun 2022, sebagian kewenangan kembali didelegasikan ke pemerintah daerah.
DLH menambahkan bahwa penyusunan dokumen UPL (Upaya Pengelolaan Lingkungan) kini bisa dilakukan mandiri oleh penambang dan akan didampingi oleh DLH untuk menghemat biaya.
“Kami membuka peluang penyusunan mandiri dokumen lingkungan dan akan mendampingi hingga selesai,” kata perwakilan DLHK.(*)
Penulis : Elis