Pendidikan Yogyakarta

UGM Selenggarakan Dialog Nasional Dilema Pembangunan Berkelanjutan

INTENS PLUS – YOGYAKARTA. Pembangunan berkelanjutan harus memperhatikan dampak bagi  kerusakan lingkungan,    Departemen Politik dan Pemerintahan (DPP), FISIPOL  Universitas Gadjah Mada (UGM), membuka dialog Bulaksumur Roundtable Forum untuk membahas isu terkait pembangunan berkelanjutan di Indonesia. 

Dialog nasional yang akan digelar pada Jumat, 9 Agustus 2024, pada pukul 13.00-17.00 WIB di Balai Senat UGM, dialog tersebut akan fokus pada pembahasan reorientasi desentralisasi dan otonomi daerah , serta pembangunan ekonomi dalam konteks tantangannya terhadap pembangunan berkelanjutan. 

Menjembatani komunikasi multi-pihak lintas-sektoral untuk mengelola dilema, ada pun narasumber yang akan hadir dalam diskusi nasional ini antara lain: Prof.Dr.Pratikno (ahli politik dan pemerintahan UGM,Mensesneg); Prof. M.Tito Karnavian (Menteri Dalam Negeri, Prof. Dr. Haryanto (ahli politik lokal UGM), Prof.Dr.Purwo Santoso (ahli politik lingkungan hidup UGM), Neneng Goenadi (Country Managing Director, Grab Indonesia), hadir juga Sri Sultan Hamengkubuwono X (Gubernur DIY), Dr. Ir. H. Isran Noor (Gubernur Kalimantan Timur 2018-2023), Shinta Kamdani (Ketua Pokja Keberlanjutan dan Perubahan Iklim KADIN).

Program Lead untuk CoPPS, Ian Agisti membahas pentingnya menyatukan berbagai pemangku kepentingan dalam lanskap politik dan kebijakan di Indonesia.

“Dialog ini bertujuan untuk menyatukan berbagai pemangku kepentingan guna mendorong dan mengintegrasikan inisiatif keberlanjutan ke dalam lanskap politik dan kebijakan di Indonesia.”. ungkapnya. Kamis (8/8/2024).

Ian mengatakan, tujuan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi bangsa serta  fokus pada sektor ekonomi hijau dan biru. 

“Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi besar dalam sektor ekonomi hijau dan biru. Kami percaya bahwa kedua pendekatan ini sangat relevan untuk diterapkan di Indonesia, dengan fokus pada empat hal utama yaitu energi, teknologi, pangan, dan pariwisata. Yang masing-masing area akan disesuaikan dengan karakteristik dan potensi unik dari setiap wilayah di Indonesia,” ungkapn Ian. 

Menurutnya, komitmen Indonesia untuk menjadi bagian penting dalam industri global, dibutuhkan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim yang tidak mudah diwujudkan karena dihadapkan dengan dilema tersebut.

Selain itu, Dosen Politik dan Pemerintahan UGM,  Hasrul Hanif  menjelaskan  target penurunan gas bumi yang diterapkan pemerintah.

“Di satu sisi, melalui Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC) Indonesia, pemerintah menjanjikan target penurunan Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 31,89% dengan kemampuan sendiri atau 43,20% bila ada dukungan internasional pada tahun 2030,” sebutnya.

Di sisi lain, kebijakan ekonomi Indonesia berupaya untuk keluar dari jebakan middle income trap masih bertumpu pada ekstraksi mineral dan batubara. Pemerintah optimistis menargetkan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen di tahun 2024, melalui tiga mesin, yaitu: produktivitas tinggi, memperbesar investasi, dan meningkatkan ekspor. 

Diketahuinya berdasarkan data pada tahun 2023, kontribusi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sektor Migas sebesar 117 triliun rupiah dan sektor Minerba sebesar 173 triliun rupiah. Dalam banyak kasus, upaya untuk mendorong industrialisasi dan hilirisasi tidak jarang justru menghasilkan masalah lingkungan akibat alih fungsi lahan, konsumsi energi yang tinggi yang sebagian  besar masih ditopang oleh batubara, serta peningkatan emisi dan polusi.

Dalam menghadapi dilema-dilema tersebut, Hanif menyebutkan perlunya reorientasi dan transformasi kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah yang telah 25 tahun diterapkan. Penting mengingat tantangan serta solusi terkait pembangunan berkelanjutan, juga perubahan iklim yang bersifat saling terkait dan dampaknya saat melintasi batas-batas yurisdiksi administrasi serta kategori global-lokal.  

Desentralisasi tidak bisa semata-mata didasarkan pada semangat, untuk membagi kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah melainkan pada semangat kolaborasi antar pihak untuk mengatasi berbagai tantangan perubahan dan dilema-dilema yang menyertainya. 

“Maka arah baru desentralisasi dan otonomi daerah harus membuka ruang selebar-lebarnya untuk dikolaborasikan pada kemitraan multi-pihak termasuk pemerintah, sektor swasta, masyarakat sipil, dan komunitas internasional. Untuk mendorong keberlanjutan sosial, ekonomi, dan lingkungan di tingkat lokal,” imbuh Hanif. 

Hanif juga menekankan pentingnya kolaborasi tersebut dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan di tingkat lokal. 

“Kolaborasi menjadi kunci agar praktik desentralisasi  otonomi daerah dapat bermuara pada kesetaraan pembangunan ekonomi lokal, sehingga Masyarakat lokal dapat melakukan pelestarian dan perlindungan lingkungan dari degradasi dan kerusakan yang eksesif ,” ujarnya.(*)

Penulis : Elis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *